
Salingka Media – Gresik memang dikenal sebagai kota industri yang terus menggeliat. Tapi di balik sorotan gemerlap dan dinding putih bersih klinik-klinik kecantikannya, ada kisah yang bikin sesak dada. Cerita ini datang dari SF (30), seorang mantan karyawan di sebuah klinik ternama kawasan Gresik Kota Baru (GKB), yang akhirnya angkat suara setelah lama bungkam.
Semuanya bermula sekitar akhir 2021. SF bergabung dengan klinik itu, menjalani kontrak kerja dua tahun. Di atas kertas, semuanya tampak profesional. Tapi kenyataannya? Jauh dari kata manusiawi.
Dalam kurun waktu kerja yang tak genap dua tahun itu, SF mengalami hal yang nyaris tak masuk akal. Bukan hanya harus lembur tanpa henti, ia juga sempat hamil… dua kali. Tapi dua-duanya gugur, kandas di tengah jalan. Dokter menyebut, kelelahan ekstrem alias overwork jadi penyebab utamanya.
“Sudah capek banget tiap hari. Sampai suatu hari pendarahan… lalu hilang,” tutur SF, pelan, matanya sembab waktu ditemui wartawan, Jumat (25/4/2025).
Dan ternyata, itu baru awal derita panjangnya.
Saat akhirnya ia memutuskan mengundurkan diri demi keselamatan fisik dan mentalnya, SF malah dipaksa membayar Rp 5 juta. Bukan denda resmi. Tapi semacam “tebusan” untuk bisa mendapatkan ijazahnya kembali—dokumen yang selama ini ditahan pihak perusahaan sejak awal kerja.
“Ijazah saya ditahan dari pertama kerja. Pas saya minta balik, mereka bilang harus bayar karena saya ikut kursus. Tapi kursus itu saya nggak minta, mereka yang suruh,” jelasnya, menahan emosi.
Uang itu akhirnya ia bayarkan lewat suaminya pada 18 November 2023. Setelah transfer selesai, ijazah dikembalikan. Tapi luka batinnya tak ikut hilang.
Tak cukup dengan fisik yang babak belur, SF juga harus menanggung trauma psikologis mendalam. Tanpa jaminan kesehatan BPJS, biaya berobat dan perawatan pascakeguguran mencapai belasan juta rupiah—semua ditanggung sendiri.
“Saya sampai minjam sana-sini. Nggak punya BPJS, semua keluar dari dompet sendiri. Stres banget,” ucapnya sambil menunjukkan bukti percakapan dengan pihak klinik yang bernada mengancam.
Ia menambahkan, dirinya sempat merasa sangat terpuruk. Tapi setelah kasus serupa ramai diberitakan—tentang penahanan ijazah di perusahaan lain di Surabaya—barulah ia memberanikan diri untuk bersuara. Bukan untuk balas dendam, katanya. Tapi demi menghentikan praktik semacam ini agar tak terulang lagi ke perempuan lain.
“Semoga ini jadi peringatan. Jangan ada lagi perempuan yang harus kehilangan anaknya cuma karena kerja,” pungkasnya.