
Salingka Media – Suasana depan Mapolda Sumbar mendadak panas pada Senin malam (21/4). Puluhan mahasiswa dari berbagai kampus yang tergabung dalam Aliansi BEM Sumatera Barat, bersama sejumlah elemen masyarakat sipil, turun ke jalan menuntut kejelasan atas tiga persoalan serius: kematian Afif Maulana yang masih penuh misteri, meningkatnya tawuran pelajar, dan dugaan keterlibatan aparat dalam tambang ilegal di Solok Selatan.
Aroma kekecewaan begitu terasa di antara barisan massa. Ban-ban bekas dibakar di depan gerbang Mapolda sebagai simbol kekesalan terhadap pihak kepolisian yang dinilai pasif dan enggan berdialog. Koordinator aksi, Novalsyah—mahasiswa UIN Imam Bonjol—mengaku kecewa berat lantaran Kapolda tak kunjung menampakkan diri meski ini adalah kali kedua mereka turun ke lokasi yang sama.
“Kami hanya minta didengar langsung, bukan lewat perantara. Dari sore kami tunggu, tetap tak ada itikad baik dari Kapolda,” ujarnya kepada awak media di lokasi aksi.
Sebelumnya, aksi serupa juga sempat digelar pada Minggu (20/4), namun dengan hasil yang tak jauh berbeda. Tujuh tuntutan telah mereka bacakan saat itu, tapi belum satu pun mendapat tanggapan resmi dari pimpinan kepolisian daerah.
1. Kematian Afif Maulana yang Belum Terungkap
Mahasiswa menyuarakan tuntutan agar investigasi kematian Afif Maulana dibuka secara transparan. Afif, remaja yang disebut polisi bunuh diri dengan melompat ke sungai, masih menyisakan banyak tanda tanya. Pihak keluarga dan tim hukum korban menilai ada kejanggalan dalam prosedur pemeriksaan, termasuk absennya bukti forensik yang mendukung versi polisi. Ironisnya, sejak kasus ini ramai pada pertengahan 2024, belum ada progres nyata dari penyelidikan.
2. Tawuran Pelajar yang Kian Tak Terkendali
Dalam tiga bulan terakhir, Kota Padang dan sekitarnya seperti tak pernah bebas dari kabar tawuran. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat setidaknya 15 kejadian tawuran yang menyebabkan korban luka hingga jiwa. Para pendemo menyoroti lemahnya pengawasan dan respons polisi yang dianggap tak cukup preventif dalam menekan eskalasi konflik di kalangan pelajar.
3. Tambang Ilegal dan Dugaan Keterlibatan Oknum Polisi
Isu yang juga membara adalah tambang ilegal di Solok Selatan. Kasus ini mencuat usai sidang etik AKP Dadang Iskandar yang mengungkap aliran dana tambang liar ke petinggi kepolisian setempat. Walhi Sumbar bahkan menyebut nominal setoran yang mengalir bisa mencapai Rp600 juta per bulan. Aktivitas tambang ini tidak hanya merusak lingkungan secara masif, tapi juga berkontribusi terhadap bencana longsor dan banjir di kawasan tersebut.
Novalsyah menegaskan, “Kami gak akan diam kalau aparat justru jadi backing aktivitas ilegal. Kami tuntut Kapolda bersih-bersih internal!”
Dukungan terhadap aksi ini datang dari berbagai organisasi, seperti Walhi Sumbar dan PBHI. Direktur Walhi, Wengki Putranto, menggambarkan persoalan tambang ilegal sebagai “gunung es” yang jika dibiarkan, akan memicu kehancuran ekologis di Sumbar.
Aliansi mahasiswa bahkan memberikan ultimatum, jika dalam 48 jam tak ada respons dari pihak kepolisian, mereka akan menggelar aksi lanjutan dengan skala yang lebih besar. Mereka juga meminta Gubernur Sumbar ikut turun tangan, apalagi sejumlah janji kampanye soal pembangunan daerah dan perlindungan lingkungan dinilai belum ada yang terealisasi.