
Salingka Media – Tanah bukan sekadar soal batas dan sertifikat. Di Padang, tepatnya di Kurao Pagang, cerita soal sepetak lahan justru membuka tabir panjang tentang klaim negara dan hak waris yang dipercaya sudah melekat sejak zaman dulu. Konflik itu mencuat pada Selasa, 22 April 2025, saat Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah X datang bersama Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Kejati Sumbar), membawa misi penertiban aset negara.
Mereka datang dengan dokumen. Surat, sertifikat, akta jual beli. Semuanya menunjuk pada sebidang tanah seluas 725 meter persegi. Nilai asetnya? Sekitar Rp689 juta. Tanah itu, kata pihak LLDikti, sudah dibeli negara sejak 1992, bersamaan dengan pembangunan kantor mereka. Tapi sejak saat itu, lahan tersebut dibiarkan kosong, belum dimanfaatkan.
Tapi Tanah Itu Sudah Ada yang Menempati
Di atas lahan itu kini berdiri bangunan semi permanen. Dihuni, dijaga, dan—menurut pengakuan keluarga—sudah diwariskan secara turun-temurun. Lidiawati, perempuan yang kini tinggal di sana, tak tinggal diam ketika aparat datang. Dengan suara lantang, ia menolak keras pengukuran dan pematokan tanah oleh Badan Pertanahan Nasional.
“Tanah ini pusako tinggi, warisan dari leluhur kami. Kami sudah tinggal di sini sejak dulu, jauh sebelum sertifikat itu keluar,” ucapnya tegas. Ucapan itu tak hanya bentuk protes, tapi juga penegasan identitas dan sejarah keluarga mereka.
Ketegangan di Lapangan, Prosedur Tetap Berjalan
Meski sempat alot, proses pematokan tetap dilanjutkan. BPN tak bekerja sendiri. Mereka didampingi oleh personel Denpom 1/4 Padang, Satpol PP, perangkat kelurahan, hingga Biro Hukum dari Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi. Plang aset negara sempat direncanakan dipasang, namun akhirnya ditunda karena situasi yang dianggap belum kondusif.
“Kami belum bisa memasang plang hari ini. Mungkin nanti, saat waktunya lebih tepat,” ujar Futin Helena Laoli dari Kejati Sumbar, mencoba menenangkan suasana.
LLDikti Tak Akan Mundur
Meski belum sepenuhnya berhasil, pihak LLDikti memastikan mereka tidak akan menyerah begitu saja. Bagi mereka, lahan ini punya tujuan yang mulia—untuk kepentingan pendidikan tinggi. “Kami akan terus upayakan pemulihan hak negara atas tanah ini,” kata Kepala LLDikti, Afdalisma, sambil menunjukkan dokumen resmi sebagai dasar hukum kepemilikan.