Salingkamedia.com, Padang – Perkembangan sastra lisan Minangkabau. Hubungan Sastra lisan dengan Masyarakat. Bentuk sastra lisan amat berkaitan dengan tradisi masyarakatnya. Hubungan itu dapat berupa ditampilkannya sastra lisan itu dalam upacara dan acara-acara tradisional masyarakat yang bersangkutan.
Hubungan yang lain ialah sastra lisan tersebut bersumber dan kemudian sekaligus mengandung adat dan kebiasaan, tingkah laku, dan kepercayaan masyarakat.
Kedua bentuk itu juga terlihat dalam sastra lisan Minangkabau. Bentuk- bentuk sastra lisan pasambahan, misalnya, merupakan bentuk sastra yang bersifat seremonial, yaitu jenis sastra yang lebih banyak ditampilkan waktu upacara-upacara tertentu. Misalnya, pada upacara helat perkawinan, ber- tegak penghulu, dan kematian.
Sastra lisan kaba juga merupakan jenis sastra yang ada kaitannya dengan suatu acara dan upacara. Ia merupakan suatu acara pelengkap dari suatu pesta atau helat perkawinan. Tentu saja juga di samping hubungan dengan acara dan upacara masyarakat tradisional ter- sebut bentuk sastra ini juga menggambarkan dan bersumber dari filsafat yang hidup dalam masyarakatnya.
Demikian juga dengan masalah sastra lisan Minangkabau lainnya: pepatah, pantun dan mantra. Pepatah dan pantun merupakan jenis sastra yang juga disampaikan dan terdapat dalam bentuk-bentuk sastra lisan lain- nya. Di dalam kaba juga dijumpai bentuk-bentuk dan pantun.
Demikian juga di dalam bentuk sastra lisan pasambahan. Maka dengan demikian, jenis pepatah dan pantun selain juga melekat dengan upacara-upacara dan acara- acara dalam tradisi masyarakat Minangkabau ia juga merupakan pencer- minan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat tradisional tersebut.
Bahkan pada suatu masa berpepatah dan berpantun dalam masyarakat Minangkabau merupakan sebagian daripada tradisi. Setiap orang Minangkabau merasa sebagai orang Minangkabau yang baik bilamana mereka sanggup berpetatah dan berpantun.
Akan halnya dengan mantra mungkin agak berbeda dengan pepatah dan pantun. Jenis sastra lisan ini hanya dimiliki atau dikuasai oleh kelompok masyarakat yang terbatas sekali, yaitu hanya oleh para dukun, pawang atau para pendekar yang “berilmu” saja.
Untuk dapat memiliki dan menguasai mantra diperlukan syarat – syarat yang amat berat. Bukan saja syarat-syarat yang formal tapi juga syarat·syarat yang berhubungan dengan sikap dan mental. Di dalam mantra juga akan terlihat dengan jelas latar belakang tradisi dan filsafat serta latar belakang kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Perkembangan tradisi dan filsafat serta kepercayaan tersebut juga akan mempengaruhi perkembangan mantra.
Bagaimana mantra sebelum datangnya agama Islam dan bagaimana pula sesudah masuknya Islam akan terlihat perbedaannya tidak saja dalam isi tapi juga dalam struktur (terutama bahasanya).
Perkembangan pantun, pepatah, dan mantra sebagai jenis sastra lisan yang berkaitan erat dengan tradisi masyarakat Minangkabau akan banyak ditentukan oleh perkembangan tradisi itu sendiri.
Dalam masyarakat yang masih kuat tradisinya maka bentuk-bentuk pantun, pepatah, dan mantra ini akan tetap hidup dan bertahan. Demikian juga bila dibandingkan masyarakat kota dan masyarakat desa akan jelas terlihat bahwa dalam masyarakat pedesaan jenis pantun, pepatah, dan mantra masih hidup dan bertahan sementara dalam masyarakat kota cenderung menjadi berkurang, kalau tidak dapat dikatakan hilang.
Hal ini tentu saja ada hubungannya dengan penghayatan terhadap tradisi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Minangkabau sekarang mulai melonggarkan ikatan·ikatan tradisinya.
Baik berkurangnya upacara· upacara dan acara·acara yang bersifat tradisional maupun terhadap nilai· nilai yang berlaku di dalam masyarakat tersebut. Dalam lingkungan masya· rakat desa gejala ini mungkin tidak sekuat yang berlaku dalam masyarakat kota. Namun, kecenderungan itu jelas dapat dirasakan.
Keadaan yang demikian juga akan mempengaruhi perkembangan pantun, pepatah, dan.mantra. Karena pantun, pepatah, dan mantra ini amat ber kaitan erat dengan tradisi masyarakatnya, kecenderungan melonggarnya ikatan·ikatan tradisi tersebut menyebabkan pula perkembangan pantun, pepatah, dan mantra menjadi berkurang.
Dari sejumlah daftar pertanyaan yang disebarkan sehubungan dengan lamanya penutur menguasai sastra lisan pantun, pepatah dan mantra terlihat bahwa 62% sudah menguasai selama 15 tahun lebih, 30% telah menguasai antara I0 dan 15 tahun dan hanya 8% yang menguasai antara 5 sampai dengan I0 tahun.
Hasil angket ini memperlihatkan rata·rata para penutur sastra lisan adalah orang yang sudah sejak lama menguasainya. Usaha pewarisan berlangsung agak lamban karena tidak banyak penutur-penutur yang memiliki dan menguasai sastra lisan ini.
Andriaz Kahfi