Salingkamedia.com, Padang, Kedudukan dan Peran Bundo Kanduang di Minangkabau. Kandungan isi Alquran itu lebih memperjelas keutamaan perempuan, perempuanlah yang menentukan corak generasi yang dilahirkannya dalam mencapai kehidupan yang berbudi luhur di masyarakat, seperti yang diungkapkan dalam pepatah-petitih berikut ini.
Elok tapian dek nan muda
Elok nagari dek pangulu
Elok masajik dek tuangku
Elok rumah tango dek Bundo Kanduang
Di samping itu, pepatah-petitih Minangkabau menyebutkan pula,
Adopun nan di sabuik parampuan, tapakai taratik jo sopan, mamakai baso jo basi, tau di ereng jo gendeng.
Maknanya, kaum perempuan mesti memiliki budi pekerti yang baik sebagai penerus garis matrilineal, memelihara sopan santun dalam tata pergaulan, basa-basi, mengenali kondisi, dan memahami posisinya.
Selanjutnya, mamakai raso jo pareso, manaruah malu jo sopan, manjauhi sumbang jo salah, muluik manih baso katuju, kato baiak kucindan murah, pandai bagaua samo gadang.
Artinya, perempuan harus mempunyai perasaan dan peduli, cerdas, mampu mengendalikan emosi, memiliki rasa malu, menjauhi perbuatan salah, tidak berperangai tercela (sumbang), tutur kata disenangi orang, bertutur baik, penyayang, dan pandai bergaul di kalangan sebaya.
Orang Minangkabau sampai hari ini masih mengakui dan tetap meneruskan garis keturunan dari ibu. Kekayaan martabat dan gelar diturunkan melalui garis perempuan.
Perkawinan dan hal lainnya diatur berdasarkan kesepakatan pihak-pihak keluarga dan keputusan dilakukan dalam mufakat dengan ninik mamak. Menurut kaba, sejak masa Iskandar Zulkainain, masa Hindu, sampai menganut agama Islam, garis keturunan dari ibu tetap menjadi ikatan kekerabatan dan perempuannya disebut bunda kanduang.
Panggilan Bundo Kanduang dipahami sekilas seolah-olah panggilan untuk semua kaum perempuan Minangkabau. Namun, bila ditelusuri sejarahnya, panggilan bundo kandung itu awalnya adalah mandeh saka, yakni perempuan tertua dalam suatu kaum/suku.
Perempuan ini dituakan karena memiliki kelebihan dan keutamaan menurut adat. Dia adalah sebagai penentu dalam kaum tersebut. Asal- usul tentang Bundo Kanduang salah satunya dapat ditemukan dalam kaba Cindua Mato.
Sesuai dengan kisah cerita Cindua Mato pada masa lalu dan seterusnya ke masa kini, masyarakat Minangkabau terhimpun dalam suatu paruik-kaum-suku-sanagari. Kesatuan terkecil adalah samandeh, sajurai, saparuik-sakaum dan dalam setiap kaum ada seseorang yang dituakan dan di kukuhkan sebagai perwakilan kaum dalam segala hal.
Dia adalah dari kaum perempuan yang dujuluki dengan sebutan bunda kanduang. Jadi panggilan Bunda Kanduang yang hakiki adalah perempuan yang dituakan dalam suatu kaum, memiliki budi pekerti yang baik, dan kepedulian yang tinggi seperti bunyi mamangan adat “Tahu di karang ja kampuang, tahu di rumah jo tangga, tahu manyuri manuladan, takuik di budi ka tajua, malu dipaham ka tagadai.
Maknanya, perempuan harus menjaga marwah kampung halaman, pandai menata dan menghadirkan kebahagiaan di rumah tangga, pandai menuntun anggota keluarga kepada yang baik, menghimpunkan yang terserak di antara keluarga, takut budinya akan terjual, cemas pendiriannya akan tergadai. Artinya, perempuan di dalam budaya Minangkabau sangat teguh memelihara citra dan mengerti posisinya.
Mencermati figur Bundo Kanduang yang ideal menurut adat Minangkabau terlihat betapa sempurnanya kaum perempuan itu. Jika semua ini dijalankan dengan baik, maka diyakini tidak akan terjadi penyimpangan bagi anggota masyarakat yang bersangkutan.
Seperti yang terjadi pada saat ini demikian merosotnya moral generasi muda. Hampir setiap hari diberitakan oleh media cetak maupun media elektronik serta media online betapa banyaknya perbuatan a susila (seperti pelacuran dan aborsi) dan kenakalan lainnya yang terjadi pada remaja sekarang.
Kejadian ini tidak saja terjadi di kota-kota besar, melainkan juga terjadi di kampung-kampung. Kejadian seperti ini juga menimpa masyarakat Minangkabau, padahal adat Minangkabau telah mengatur semuanya tentang yang boleh dan yang dilarang menurut adat.
Penyimpangan itu tentu ada penyebabnya seperti adanya pengaruh dari luar. Kemajuan teknologi modern telah memengaruhi perilaku manusia dan ajaran moraljadat yang selama ini menjadi panutan mulai diabaikan, bahkan tidak diindahkan lagi. Begitu juga para orang tua, mamak, dan mandeh sako dalam suatu kaum sudah kurang memberi pengajaran dan perhatian karena kesibukan mereka. Kini semuanya sibuk dengan berbagai persoalan keduniaan sehingga hal yang mendasar “rasa ja pareso, malu jo sapan” menjadi terabaikan sehingga terjadilah penyimpangan.
Hal seperti itu akan terus berlanjut sehingga akan melunturnya adat budaya Minangkabau yang adiluhung itu. Menyikapi kondisi pada saat ini, perlu kiranya dilakukan pendokumentasian kembali peran masing-masing anggota kaum seperti mamak, mandeh sako, anak-kemenakan, dan lainnya.
Itulah sekilas Kedudukan dan Peran Bundo Kanduang di Minangkabau. Ajaran adat tersebut bisa dipelajari kembali dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat umumnya dan para generasi muda khususnya. Hal itulah yang menjadi perhatian kita bersama terutama yang berkaitan dengan kedudukan dan peranan Bundo Kanduang dalam sistem kekerabatan matriliniel di Luak dan Rantau Minangkabau.
Andriaz Kahfi