
Salingka Media – Popularitas media sosial seperti TikTok dan Bilibili kini membawa dampak yang mengejutkan di Jepang. Beberapa video viral menyorot aktivitas pekerja seks di kawasan Okubo, Tokyo, telah menarik perhatian wisatawan mancanegara. Dalam tayangan yang kerap dibagikan secara luas, tampak perempuan muda berdiri di jalan, menawarkan layanan seks berbayar kepada para pelancong.
Kawasan Okubo Jadi Magnet Wisatawan Seksual
Wilayah Okubo, yang berdekatan dengan distrik hiburan Kabukicho—terkenal dengan ikon kepala Godzilla—menjadi lokasi utama aktivitas ini. Laporan menunjukkan bahwa para PSK bekerja secara mandiri tanpa naungan mucikari, membawa klien langsung ke hotel cinta terdekat. Harga layanan berkisar antara 15 ribu hingga 30 ribu yen, atau setara Rp1,8 juta hingga Rp3,6 juta, namun sering kali harga itu bisa ditekan tergantung situasi.
Turis Asing Jadi Target Utama
Pekerja seks seperti Ria dan Azu mengaku lebih memilih turis asing sebagai pelanggan. Alasan utamanya adalah karena daya beli warga Jepang yang semakin menurun dan karena turis asing cenderung tidak menawar dan memberikan tip lebih. Selain itu, risiko lebih kecil tertangkap oleh polisi yang menyamar juga menjadi pertimbangan utama.
“Kami merasa lebih aman melayani orang asing. Setidaknya, kecil kemungkinan mereka polisi berpakaian preman,” ujar Ria.
Dampak Pandemi dan Realita Sosial yang Berubah
Menurut Arata Sakamoto, pimpinan organisasi nirlaba Rescue Hub, perubahan sosial dan ekonomi pasca-pandemi turut berperan dalam meningkatnya jumlah PSK lokal. Banyak perempuan muda terpaksa terjun ke industri ini akibat kesulitan ekonomi dan terbatasnya lapangan kerja.
“Sepuluh tahun lalu, sangat sedikit perempuan Jepang yang bersedia terlibat dalam prostitusi. Tapi sekarang, keadaan memaksa mereka,” jelas Arata.
Rescue Hub: Oase Aman bagi Para PSK
Rescue Hub memberikan tempat aman bagi para perempuan yang ingin keluar dari lingkaran prostitusi. Saat dikunjungi AFP, beberapa perempuan terlihat beristirahat di salah satu apartemen yang disediakan organisasi ini. Di sana, mereka mendapatkan makanan, tempat tinggal sementara, dan dukungan psikologis.
Namun, tantangan besar tetap membayangi: mulai dari risiko penyakit, kehamilan tidak diinginkan, pelecehan, hingga perekaman diam-diam yang disebarkan tanpa persetujuan.
Penegakan Hukum Masih Lemah
Sementara aktivitas ini terus berkembang, penegakan hukum di Jepang dinilai masih timpang. Saat ini, hanya pekerja seks yang bisa dijerat secara hukum, sementara pelanggan belum mendapat sanksi apapun. Arata menilai perubahan undang-undang bisa menjadi solusi untuk mengendalikan fenomena ini.
Fenomena Sosial yang Mencerminkan Krisis yang Lebih Dalam
Ledakan wisata seks yang dipicu oleh konten viral di TikTok bukan hanya persoalan moral atau budaya, tetapi juga mencerminkan krisis sosial-ekonomi yang tengah melanda masyarakat Jepang, khususnya di kalangan muda. Dengan regulasi yang lemah dan tekanan ekonomi yang terus menghimpit, masa depan generasi muda Jepang pun menjadi pertaruhan.