
Salingka Media, Sumbar – Minangkabau identik dengan banyak karya seni dan budaya terkenal yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Salah satunya seni ukir yang tersebar indah pada bangunan-bangunan ikonik seperti Rumah Gadang, Rangkiang, Masjid/Surau, Balai Adat dan lain-lain.
Motif ukiran di Minangkabau juga beragam, umumnya berasal atau terinspirasi dari bentuk flora dan fauna disekitarnya.
Hal ini sesuai dengan salah satu semboyan masyarakat Minang yaitu “alam takambang menjadi guru”.
Ornamen indah yang menghiasi Rumah Gadang dan bangunan tradisional memegang peranan penting.
Bukan hanya sebagai sebuah karya seni namun juga sebagai bahasa visual yang sarat makna.
Dalam penciptaan motif dasar ukiran juga terdapat ungkapan atau peribahasa tradisional sebagai titik tolak refleksi seni ukir Minangkabau.
Meskipun tempat ukiran pada rumah “gadang” tidak harus mempunyai satu jenis ukiran saja, namun hal ini diatur dan berpedoman pada besar kecilnya “jangko” yang ada dalam adat.
Patut senteang tidak boleh masuk, patut dalam bisa senteang, di alur dengan patut, malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio, talampau aru bapantiangan, kurang aru ciri khas kambiangan, condong mato ka nan anggun , condong ke arah salero ka nan lamak.
Namun secara umum dapat dijelaskan letaknya berada di bagian rumah “gadang”, walaupun di beberapa kawasan di Minagkabau masih terdapat perbedaan.
Seni ukir Minangkabau tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Karena ukiran tradisional Minangkabau merupakan gambaran kehidupan masyarakat yang dipahat pada dinding rumah gadang, maka merupakan sarana komunikasi yang memuat berbagai tatanan sosial dan pedoman hidup masyarakat.
Namun kenyataannya seni ukir tradisional di Rumah Gadang telah kehilangan identitas dan perannya di masa kini.
Masyarakat Minangkabau sudah tidak banyak lagi yang mengetahui nilai estetikanya, apalagi makna filosofis yang dikandungnya.
Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman terhadap nilai estetika dan makna tradisional yang terkandung dalam seni ukir.
Untuk itu perlu dikaji dan digali kembali, agar tidak kehilangan nilai dan makna seni ukir tradisional di kalangan masyarakat pendukungnya.
Referensi :
(Wes Sumatra 360/goresantangan.com/WordPress.com/)