Salingkamedia, Banjir bandang dan lahar dingin di Sumatra Barat, yang sejauh ini menewaskan 59 orang, telah menyebabkan setidaknya 3.396 jiwa mengungsi.
Permasalahan lain yang bakal dialami para pengungsi adalah gangguan stres pascatrauma dan depresi, kata pengamat.
“Anak dan dua kakak saya meninggal dunia karena bencana ini,” ucap Suryati, salah satu korban selamat banjir bandang dan lahar dingin yang ditemui di lokasi pengungsian, pada Selasa (14/05).
Perempuan 47 tahun ini mengingat kembali detik-detik terjadinya bencana yang meluluh lantakan rumahnya serta 13 tempat tinggal warga lainnya di Jorong Galuang, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam.
Kala itu, kira-kira sekitar Sabtu (11/05) pukul 22:00 WIB dan dirinya baru saja tertidur.
Tiba-tiba dia mendengar bunyi petir yang sangat keras hingga membuatnya terbangun.
“Saya langsung terbangun dan tidak lama berselang, air langsung menghantam rumah dan saya langsung terbawa oleh arus air,” katanya dalam bahasa lokal.
Hingga Minggu (12/05) sekitar pukul 01:00 WIB ada tim penolong yang menjemput dan membawanya ke tempat pengungsian yang kini ditinggali untuk sementara waktu.
Suryati menuturkan dirinya mengalami trauma yang sangat mendalam akibat bencana tersebut.
“Sekarang saja, jika ada hujan saya merasa sangat takut kejadian itu akan terulang kembali dan saya tidak ingin mendengar suara hujan,” katanya.
Tidak hanya itu, ia juga mengaku trauma saat mendengar bunyi guntur atau petir yang menyambar-nyambar. Karena, sebelum kejadian itu dirinya sempat mendengar suara petir yang sangat kuat.
Selakn gangguan stres pascatrauma dan depresi, pakar kesehatan mengkhawatirkan munculnya gelombang tiga penyakit yang dapat menjangkiti kelompok rentan di lokasi pengungsian.
Persoalan datang apa saja tiga gelombang itu dan bagaimana mengatasinya?