Netizen Barbar? Belajar Filosofi ‘Kato Nan Ampek’ Minangkabau sebagai Anti-Tesis Cancel Culture

Netizen Barbar? Belajar Filosofi 'Kato Nan Ampek' Minangkabau sebagai Anti-Tesis Cancel Culture
Foto by Gemini Generated Image

Salingka Media – Pernahkah Anda membuka kolom komentar di Instagram atau X (Twitter) dan merasa lelah seketika? Caci maki, debat kusir tanpa ujung, hingga fenomena cancel culture yang mematikan karir seseorang hanya karena satu kesalahan ucap. Rasanya, jempol kita hari ini lebih tajam daripada lidah.

Dunia digital kita sedang krisis tatakrama. Tapi, sebelum kita sibuk mengadopsi teori komunikasi Barat untuk memperbaiki ini, ada baiknya kita menengok ke “lumbung padi” sendiri.

Dunia digital kita seolah haus akan penghakiman. Di sinilah kita mendesak butuhnya sebuah “anti-tesis” bagi cancel culture. Kita butuh sebuah pendekatan yang berlawanan: cara menegur yang tidak menghancurkan, kritik yang memperbaiki alih-alih mempermalukan, dan budaya yang menjaga martabat manusia (marwah) meskipun sedang dalam perselisihan.

Menariknya, sebelum para sosiolog Barat pusing mencari solusinya, masyarakat Minangkabau sebenarnya sudah menyimpan “teknologi” komunikasi canggih untuk masalah ini bernama Kato Nan Ampek. Ini bukan sekadar aturan tutur sapa, melainkan sebuah algoritma sosial kuno yang bisa menjadi jawaban untuk menjinakkan liarnya hutan rimba media sosial hari ini. Pertanyaannya, bisakah filosofi kuno ini menjinakkan liarnya hutan rimba media sosial?

Bukan Sekadar Basa-Basi: Apa itu Kato Nan Ampek?

Dalam adat Minang, cara kita berbicara tidak boleh dipukul rata. Ada frekuensi yang harus disesuaikan dengan siapa lawan bicara kita. Inilah yang sering dilupakan netizen yang merasa “semua orang sama di mata internet”.

Baca Juga :  Jejak Anggun Nan Tongga, Pahlawan Legendaris Minangkabau

Mari kita bedah empat pilar ini dalam konteks kehidupan digital:

1. Kato Mandaki (Kata Mendaki) Ini adalah seni berbicara kepada orang yang lebih tua atau yang dituakan (guru, pakar, orang tua). Di dunia nyata, kita tidak mungkin menunjuk-nunjuk muka dosen, kan?

Perumpamaan di Twitter, batas ini kabur. Seorang remaja bisa dengan mudah memaki seorang profesor hanya karena beda pendapat politik. Menerapkan Kato Mandaki di sosmed bukan berarti kita harus feodal atau gila hormat, tapi tentang memilih diksi. Kita bisa tidak setuju dengan orang yang lebih tua tanpa harus kehilangan adab. Kritiklah argumennya, bukan menyerang uban di kepalanya.

2. Kato Menurun (Kata Menurun) Ini cara bicara kepada yang lebih muda. Di era digital, ini relevan sekali saat kita melihat cyberbullying terhadap pengguna internet di bawah umur.

Banyak orang dewasa merasa berhak “menatar” anak muda di kolom komentar dengan kata-kata kasar. Padahal, Kato Menurun mengajarkan kita untuk mengayomi. Kalau ada Gen Z yang salah info, luruskan dengan data, bukan dengan ejekan “Dasar bocah!”.

3. Kato Mendatar (Kata Mendatar) Komunikasi dengan teman sebaya. Di sinilah letak candaan, meme, dan bahasa gaul. Ini zona paling aman, tapi juga sering jadi sumber masalah jika kebablasan. Teman di dunia nyata mungkin paham sarkasme kita, tapi “teman” di Facebook yang tidak pernah bertemu muka bisa salah paham. Kato Mendatar mengingatkan kita bahwa keakraban tidak menghapus batas privasi.

Baca Juga :  Mengenal Gedung Joang 45 Sumatera Barat

4. Kato Melereng (Kata Melereng/Miring) Nah, ini yang paling menarik dan paling advanced. Kato Melereng adalah seni berbicara kiasan, sindiran halus, atau menggunakan perumpamaan.

Orang Minang sangat pantang mempermalukan orang di depan umum. Jika ada yang salah, tidak ditegur langsung di depan orang banyak (shaming), tapi disindir halus supaya dia sadar sendiri.

Bayangkan jika netizen +62 menguasai skill ini. Tidak akan ada lagi doxing atau penyerangan brutal secara massal. Kritik disampaikan dengan elegan, penuh metafora, yang membuat si penerima kritik berpikir keras tanpa merasa harga dirinya diinjak-injak. Ini adalah antitesis dari budaya cancel culture yang beringas.

Raso jo Pareso: Filter Sebelum ‘Send’

Di balik teknis Kato Nan Ampek, ada “sistem operasi” yang menjalankannya, yaitu Raso jo Pareso (Rasa dan Periksa).

  • Raso (Rasa): Gunakan hati. “Kalau aku dikomentari begini, sakit hati nggak ya?”

  • Pareso (Periksa): Gunakan logika. “Berita yang mau aku share ini valid nggak? Atau cuma hoax?”

Hari ini, banyak orang punya Pareso (logika/intelektual) tinggi, tapi Raso-nya mati. Akibatnya? Komentarnya cerdas tapi menyakitkan. Sebaliknya, banyak yang Raso-nya dominan tapi Pareso-nya lemah, akhirnya mudah terprovokasi berita bohong yang menyedihkan.

Baca Juga :  Songket Pandai Sikek Dapat Sorotan Nasional, Dirjen KI Sambangi Tanah Datar

Keseimbangan dua hal inilah kunci “kecerdasan emosional” ala Minangkabau.

Menjadi Netizen “Beradat”

Mungkin terdengar utopis mengharapkan internet menjadi tempat yang santun sepenuhnya. Namun, mengadopsi nilai Kato Nan Ampek adalah langkah kecil untuk “memanusiakan” kembali interaksi digital kita.

Berhenti sejenak sebelum menekan tombol enter. Lihat siapa lawan bicara kita (Mandaki/Menurun?), posisikan diri kita (Mendatar), dan jika harus mengkritik, lakukanlah dengan seni yang tidak melukai (Melereng).

Jadilah netizen yang tidak hanya kenyang makan Rendang, tapi juga “kenyang” dengan etika. Karena di dunia maya, jejak digitalmu adalah cerminan kualitas adabmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *