
Salingka Media – “Vox populi, vox Dei” suatu frasa Latin yang secara harfiah berarti “suara rakyat adalah suara Tuhan.” Ungkapan ini telah bergaung selama berabad-abad, menjadi landasan pemikiran politik, filosofis, dan religius tentang pentingnya mendengarkan aspirasi kolektif masyarakat. Artikel ini akan mengupas makna frasa tersebut, asal-usulnya, dan bagaimana interpretasinya telah berubah seiring waktu.
Asal-usul dan Makna Historis
Frasa ini pertama kali tercatat dalam sebuah surat dari seorang biarawan dan cendekiawan Inggris, Alcuin dari York, kepada Kaisar Karel Agung pada tahun 798 Masehi. Dalam surat tersebut, Alcuin memperingatkan kaisar agar tidak terlalu mendengarkan “suara rakyat yang tidak stabil” karena suara tersebut seringkali bisa berbahaya dan menyesatkan. Alcuin berargumen bahwa suara rakyat bukanlah suara Tuhan, dan sering kali kebalikannya. Ia menulis, “Janganlah mendengarkan mereka yang mengatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, karena kegaduhan massa hampir selalu merupakan kegilaan.”
Meskipun demikian, interpretasi Alcuin yang skeptis ini tidak begitu dikenal. Frasa tersebut justru mendapatkan popularitasnya dengan makna yang berlawanan: bahwa suara rakyat adalah manifestasi dari kehendak ilahi. Penggunaan positif ini dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan filsuf Abad Pertengahan, seperti Thomas Aquinas, yang berpendapat bahwa hukum yang dibuat oleh manusia harus mencerminkan hukum alam (divine law) yang dapat ditemukan melalui akal budi, dan dalam hal ini, suara konsensus masyarakat dapat menjadi petunjuk.
Relevansi dalam Demokrasi Modern
Frasa “Vox populi, vox Dei” menemukan tempatnya yang paling penting dalam perkembangan demokrasi. Dalam sistem politik di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, pemikiran bahwa keputusan kolektif masyarakat memiliki legitimasi ilahi memberikan bobot moral yang kuat. Prinsip ini menjadi dasar bagi ide-ide seperti kedaulatan rakyat, pemilihan umum, dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Namun, interpretasi modern juga menyadari adanya tantangan. Suara “rakyat” tidak selalu tunggal atau homogen. Ia bisa jadi terpecah belah, dipengaruhi oleh propaganda, dan tidak selalu mencerminkan kebenaran atau kebaikan. Di sinilah pentingnya sistem checks and balances, perlindungan hak minoritas, dan peran lembaga-lembaga independen, seperti pengadilan dan media, untuk memastikan bahwa suara mayoritas tidak menindas yang lain.
Meskipun penting, frasa ini juga mendapat banyak kritik. Seperti yang telah dicatat Alcuin, massa dapat dengan mudah digerakkan oleh emosi, fobia, dan prasangka. Sejarah telah menunjukkan bagaimana rezim-rezim totaliter seringkali menggunakan popularitas yang didapat melalui demagogi untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka yang kejam. Dalam konteks ini, “suara rakyat” bisa menjadi alat yang berbahaya.
Oleh karena itu, para pemikir politik modern cenderung tidak lagi menganggap suara rakyat sebagai “suara Tuhan” dalam arti harfiah. Mereka melihatnya sebagai suara yang perlu didengarkan dan dihormati, tetapi juga dievaluasi secara kritis. Kualitas demokrasi tidak hanya diukur dari seberapa besar dukungan mayoritas, tetapi juga dari seberapa baik ia melindungi hak-hak individu dan minoritas, seberapa transparan prosesnya, dan seberapa akuntabel para pemimpinnya.
“Vox populi, vox Dei” adalah sebuah frasa yang telah melintasi waktu, beradaptasi dan berkembang seiring dengan perubahan pemikiran politik. Dari peringatan skeptis Alcuin hingga menjadi pilar demokrasi, ia mencerminkan perjuangan abadi antara menghormati kehendak kolektif dan menjaga akal sehat serta kebenaran. Frasa ini mengingatkan kita akan kekuatan yang ada dalam suara rakyat, namun juga menuntut kita untuk selalu kritis, bijaksana, dan bertanggung jawab dalam menggunakannya.
Sumber:
- Alcuin of York (Surat kepada Karel Agung): Dokumen historis ini sering dikutip sebagai sumber pertama frasa ini. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat mencari di arsip-arsip sejarah atau buku-buku tentang Abad Pertengahan.
- The Stanford Encyclopedia of Philosophy – “Aquinas’s Moral, Political, and Legal Philosophy”: Mengulas bagaimana Thomas Aquinas memandang hukum alam dan hukum manusia, yang secara tidak langsung memberikan konteks bagi pemikiran bahwa konsensus bisa mencerminkan kebenaran. https://plato.stanford.edu/entries/aquinas-moral-political/
- Berbagai sumber buku dan artikel tentang sejarah dan filsafat politik. Silakan merujuk pada karya-karya klasik tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat untuk pemahaman yang lebih mendalam.