Salingka Media – Istilah “hidung belang” sudah lama dikenal di kalangan masyarakat Indonesia dan umumnya digunakan untuk menggambarkan seorang pria mata keranjang. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa istilah ini berakar dari sebuah skandal cinta yang terjadi di Kastil Batavia (sekarang Jakarta) pada abad ke-17, tepatnya tahun 1629.
Kisah ini bermula ketika seorang gadis bernama Sara Specx terlibat dalam hubungan asmara dengan Pitter Jacobzoon, seorang serdadu muda. Sara adalah putri dari Jacquis Specx, seorang pejabat tinggi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang mempercayakan putrinya kepada Gubernur J.P. Coen sebelum ia kembali ke Belanda pada tahun 1627. Sara yang berdarah campuran Eropa dan Jepang—karena ibunya adalah seorang gundik Jepang—mendapatkan tempat di lingkungan istri Gubernur J.P. Coen, Eva Ment, dan bekerja sebagai pendampingnya.
Pada usianya yang masih sangat muda, 12 tahun, Sara mulai tertarik pada Pitter, seorang serdadu berusia 16 tahun yang bekerja di kastil. Pitter, putra dari ayah berdarah Belanda dan ibu pribumi, juga memiliki ketertarikan yang sama pada Sara. Keduanya sering bertemu hingga hubungan mereka semakin intens dan melampaui batas, bahkan sampai berhubungan layaknya suami istri.
Suatu malam, di tengah pertemuan mereka di rumah J.P. Coen, perbuatan mereka diketahui oleh sang Gubernur. Skandal tersebut berujung pada hukuman berat. Pada 6 Juni 1629, Pitter dijatuhi hukuman pancung di alun-alun kota, di depan mata publik. Sara, yang dipaksa menyaksikan kekasihnya dihukum, juga mengalami penghinaan. Ia dicambuk di depan umum dan dipermalukan.
Sebelum dieksekusi, wajah Pitter dicoret dengan arang oleh algojo sebagai tanda ia seorang pelaku asusila. Saat kepala Pitter terpisah dari tubuhnya, penduduk yang menyaksikan melihat bekas arang pada hidungnya, sehingga lahirlah sebutan “si hidung belang.” Sejak saat itu, istilah tersebut menjadi sebutan untuk pria yang suka berselingkuh atau tidak setia.