Sejarah Menarik Jam Gadang Bukittinggi, Ikon yang Menyimpan Cerita dari Masa ke Masa

Jam Gadang Bukittinggi: Ikon Sejarah yang Terus Berubah

Sejarah Menarik Jam Gadang Bukittinggi, Ikon yang Menyimpan Cerita dari Masa ke Masa
Sejarah Menarik Jam Gadang Bukittinggi, Ikon yang Menyimpan Cerita dari Masa ke Masa (Dok. https://id.wikipedia.org/wiki/Jam_Gadang)

Salingka Media – Jam Gadang adalah landmark ikonik yang menjadi kebanggaan masyarakat Bukittinggi, Sumatra Barat. Dibangun pada tahun 1926, menara jam ini tidak hanya berfungsi sebagai penunjuk waktu tetapi juga menjadi simbol sejarah yang mewakili perubahan zaman dan kekuasaan di Indonesia.

Bangunan bersejarah ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, yang saat itu menjabat sebagai controleur Fort de Kock (sekarang Bukittinggi). Desain arsitekturnya merupakan hasil karya Yazid Abidin Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh, seorang arsitek Minangkabau. Dengan tinggi 26 meter, Jam Gadang terdiri dari empat tingkat yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri.

Keunikan Arsitektur Jam Gadang

Dibangun tanpa menggunakan semen, konstruksi Jam Gadang memanfaatkan campuran bahan tradisional seperti kapur, putih telur, dan pasir putih. Tingkat pertama bangunan berfungsi sebagai ruangan petugas, sementara tingkat kedua menjadi tempat bagi perangkat mekanik jam. Tingkat ketiga adalah lokasi mesin jam yang unik, dan tingkat keempat merupakan puncak menara dengan lonceng yang memancarkan suara penanda waktu. Lonceng ini diproduksi oleh Vortmann Recklinghausen, Jerman, yang juga memproduksi mesin jam legendaris untuk Big Ben di Inggris.

Baca Juga :  Sejarah Sumo Jepang: Dari Ritual Keagamaan hingga Simbol Budaya Nasional

Yang menarik, angka empat pada jam ini menggunakan huruf Romawi yang berbeda dari jam umumnya, yaitu “IIII” alih-alih “IV”, menambah daya tarik tersendiri bagi pengunjung.

Transformasi Atap Jam Gadang dari Masa ke Masa

Salah satu aspek paling mencolok dari Jam Gadang adalah perubahan desain atapnya yang mencerminkan kekuasaan yang berganti. Pada masa penjajahan Belanda, atap Jam Gadang berbentuk kubah segi dengan ornamen ayam jantan, khas gaya arsitektur Eropa. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942-1945, desain atap diubah menjadi menyerupai pagoda, mencerminkan pengaruh budaya Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, atap Jam Gadang kembali diubah dan kali ini menggunakan bentuk gonjong, khas arsitektur Minangkabau, yang mempertahankan identitas budaya lokal hingga saat ini.

Baca Juga :  Wako Erman Bukittinggi Jajaki Kerjasama Dalam Berbagai Bidang dengan Pemko Surakarta

Jam Gadang bukan hanya penanda waktu, tetapi juga menjadi saksi bisu berbagai perubahan yang terjadi di Bukittinggi dan sekitarnya. Bangunan ini terus menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin merasakan sentuhan sejarah dan budaya Sumatra Barat.

Referensi : wikipedia

Tinggalkan Balasan