
Salingka Media – Film “Vina: Sebelum 7 Hari” belakangan menuai gelombang kritik di media sosial, karena dianggap kontroversial sejumlah pihak.
Film ini bercerita tentang pembunuhan tragis seorang gadis berusia 16 tahun asal Cirebon, Jawa Barat, bernama Vina.
Pada tahun 2016, Vina menjadi korban kekerasan yang dilakukan anggota geng motor yang tidak hanya membunuhnya, tetapi juga memperkosanya hingga tewas di lokasi kejadian.
Sutradara Anggy Umbara mengungkap motivasinya membawa cerita ini ke layar lebar.
Menurutnya, kasus Vina masih belum terselesaikan dan perlu mendapat perhatian lebih.
Ia pun membenarkan pihak produksi telah mendapat izin dari keluarga Vina untuk mengadaptasi kisah tragis tersebut menjadi sebuah film.
Anggy dikejutkan dengan seruan boikot terhadap filmnya.
“Kami mengangkat kisah nyata yang penting untuk diungkap kembali, agar kasus ini mendapat perhatian yang layak,” kata Anggy.
Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia (LSF), Rommy Fibri Hardiyanto menilai film ini termasuk drama thriller dan kriminal.
Menurutnya, meski film ini menyuguhkan adegan kekerasan, penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan, namun unsur kekerasan dihadirkan secara proporsional dan tidak terkesan sadis.
Rommy menegaskan, adegan pemerkosaan dalam film ini minim ketelanjangan dan tidak mengeksploitasi seks secara berlebihan.
Adegan kekerasan tersebut tidak divisualisasikan secara jelas sesuai standar yang berlaku.
“Bagi LSF, film bertema kekerasan hanya boleh ditayangkan kepada penonton dewasa,” jelas Rommy.
Ia juga menambahkan, LSF selalu menilai film berdasarkan kriteria sensor yang ketat, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film khususnya pasal 35.
Film “Vina: Before 7 Hari” dinyatakan lolos untuk kategori dewasa usia 17 tahun. bertahun-tahun ke atas, dengan syarat kekerasan yang ditampilkan tidak bersifat sadis dan gambar yang diambil tidak bersifat vulgar.
LSF memastikan setiap film baik nasional maupun internasional akan dinilai berdasarkan pedoman yang ada.
Apabila ada film yang tidak memenuhi kriteria sensor, LSF akan memberikan catatan dan saran kepada pemilik film.
“Bagi film-film yang dinilai kontroversial, LSF akan membuka ruang berdialog dengan para pemilik film dan terus memberikan literasi film kepada masyarakat,” kata Rommy.
Menurutnya, penilaian terhadap film bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang mungkin timbul.