
Salingka Media – Saat ini, dunia digital telah menjadi ruang tanpa batas, menjembatani berbagai ide dan budaya dari seluruh penjuru dunia. Namun, di tengah gemuruh kreativitas tersebut, muncul fenomena yang meresahkan di Ranah Minang: maraknya konten ‘caruik’ atau konten yang berisi makian dan kata-kata kotor dalam Bahasa Minang di berbagai platform, terutama TikTok dan Facebook. Konten-konten ini, yang secara vulgar dipertontonkan oleh sebagian kreator, menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan masyarakat Sumatera Barat. Keresahan ini bukan tanpa alasan; dampaknya nyata, mulai dari anak-anak yang meniru bahasa kotor hingga tergerusnya nilai-nilai luhur adat.
Pemandangan ini sungguh mengkhawatirkan. Tak hanya menjangkau khalayak dewasa, konten-konten negatif ini juga mudah diakses oleh anak-anak, membuat orang tua cemas karena dampaknya sudah mulai terlihat pada perilaku anak-anak yang berkata kasar di sekolah maupun di rumah. Banyak di antara mereka mengaku terinspirasi dari konten kreator yang mereka tonton. Ini menjadi alarm bagi semua pihak bahwa masalah ini bukan sekadar hiburan semata, melainkan sebuah ancaman serius terhadap moral generasi muda. Meskipun peran orang tua sangat vital, tanggung jawab menjaga adab dan budaya juga berada di pundak para pemangku adat: niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, dan bundo kanduang, yang hingga kini belum menunjukkan langkah nyata yang memadai.
Berangkat dari keresahan tersebut, sejumlah anak muda Minang yang juga berprofesi sebagai konten kreator mengambil sikap tegas. Mereka tidak tinggal diam melihat normalisasi konten ‘caruik’ yang semakin merajalela. Uda Rio, Minanglipp, dan beberapa nama lainnya, bersatu menyuarakan kecaman mereka. Melalui unggahan video yang viral di TikTok dan Instagram, mereka menegaskan bahwa konten kotor bukanlah hal yang patut dinormalisasi atau dianggap sebagai hiburan. Uda Rio, misalnya, menyinggung kembali filosofi “kato nan ampek” dan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang menjadi pegangan hidup masyarakat Minangkabau. Menurutnya, prinsip-prinsip inilah yang kini terabaikan. Video penolakan ini pun mendapat dukungan masif dari para warganet, menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang sepakat dengan desakan mereka untuk menjaga martabat budaya.
Tidak hanya dari kalangan konten kreator muda, fenomena ini juga menarik perhatian Anggota DPR RI, H. Arisal Aziz. Ia menyoroti bahwa apa yang dipertontonkan oleh para kreator tersebut jelas bertentangan dengan falsafah adat dan agama. Politisi yang juga seorang niniak mamak ini menyampaikan keprihatinan mendalamnya, khawatir jika hal ini terus dibiarkan akan terjadi degradasi moral yang parah. Ia mengingatkan bahwa ruang publik tidak seharusnya dijadikan tempat untuk mempertontonkan hal-hal yang tidak elok dan jauh dari norma kesopanan. Ia juga mendorong Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) untuk segera mengambil tindakan tegas. Bagi H. Arisal Aziz, ini adalah masalah bersama yang memerlukan peran aktif keluarga dan seluruh lapisan masyarakat. Ia menekankan bahwa dalih ‘dosa ditanggung sendiri’ tidak relevan, karena konten tersebut telah mencoreng marwah Ranah Minang.
Respon terhadap desakan ini akhirnya datang dari Ketua LKAAM Sumatera Barat, Fauzi Bahar. Ia secara tegas menyatakan bahwa konten-konten ‘caruik’ sama sekali tidak sejalan dengan nilai-nilai adat dan agama yang selama ini dijunjung tinggi. Fauzi Bahar memperingatkan para kreator muda bahwa konten negatif yang mereka unggah hari ini dapat merugikan masa depan mereka sendiri. Ia memberi contoh, bagaimana konten yang diunggah saat ini bisa saja muncul kembali 10 hingga 20 tahun mendatang, misalnya ketika mereka mencoba berkarir sebagai pemimpin atau pejabat publik. “Tidak ada perbuatan buruk yang menghasilkan kebaikan,” tegasnya, mengingatkan bahwa martabat budaya tidak boleh digadaikan demi popularitas sesaat di media sosial.
Gerakan ini merupakan seruan yang kuat dari berbagai pihak, mulai dari anak muda Minang hingga para tokoh adat dan politisi. Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga budaya dan moralitas generasi muda masih sangat tinggi. Mereka tidak hanya menolak konten-konten negatif, tetapi juga mengimbau seluruh masyarakat Minangkabau untuk tidak menormalisasikan perilaku tersebut. Aksi-aksi ini memberikan harapan bahwa budaya Minangkabau yang luhur akan terus dijaga dan dilestarikan.
Penting untuk disadari, bahwa media sosial layaknya sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi wadah untuk menyebarkan kebaikan dan kreativitas, namun di sisi lain, jika tidak bijak, bisa merusak fondasi moral dan budaya. Oleh karena itu, kolaborasi antara orang tua, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangatlah krusial. Peran edukasi di sekolah dan keluarga harus diperkuat, dan para pemangku adat perlu lebih proaktif dalam membimbing generasi muda. Marwah budaya Minangkabau adalah warisan tak ternilai yang harus dijaga bersama demi masa depan yang lebih baik.
Lihat postingan ini di Instagram