Perjanjian Damai Antara Suku Dayak Dusun di Pinangah Tahun 1887: Sejarah Konflik dan Penyelesaian

Perjanjian Damai Antara Suku Dayak Dusun di Pinangah Tahun 1887 Sejarah Konflik dan Penyelesaian
Perjanjian Damai Antara Suku Dayak Dusun di Pinangah Tahun 1887 Sejarah Konflik dan Penyelesaian – Gambar oleh Martin dan Osa Johnson, 1937

Salingka Media – Pada tahun 1887, sejarah mencatatkan peristiwa besar yang melibatkan suku Dayak Dusun di wilayah Labuk dan Kinabatangan. Saat itu, konflik antar suku sering kali dipicu oleh tradisi headhunting atau berburu kepala, sebuah ritual yang kerap menyebabkan peperangan di pedalaman. Pertikaian ini menarik perhatian pemerintah Kolonial Inggris yang saat itu menguasai wilayah Sabah.

Sejarah Konflik dan Tradisi Headhunting

Bangsa Dayak Dusun, yang dikenal dengan budaya headhunting mereka, terlibat dalam perseteruan sengit antara dua wilayah utama: Labuk dan Kinabatangan. Salah satu faktor utama yang menyebabkan konflik adalah perbedaan jumlah kepala yang berhasil dipenggal oleh masing-masing suku. Berdasarkan laporan Kapten Beeston pada 1 Juni 1887, suku Dayak di Labuk berhasil mengumpulkan 82 tengkorak musuh, sementara suku di Kinabatangan hanya 60 tengkorak. Selisih jumlah tersebut memicu keinginan balas dendam dari pihak Kinabatangan untuk menambah koleksi kepala mereka.

Pada saat konflik memuncak, pemerintah Inggris di bawah Kompeni British meluncurkan “Ekspedisi 50 Hari” yang dipimpin oleh Kapten Beeston. Misi ini bertujuan untuk menghentikan pertumpahan darah dan mendamaikan kedua belah pihak yang berseteru.

Peran Kompeni British dalam Mediasi

Sebagai bagian dari penyelesaian konflik, Kapten Beeston memanggil beberapa ketua suku dari kedua belah pihak untuk duduk bersama dalam perundingan. Para ketua suku yang hadir berasal dari berbagai wilayah di Labuk dan Kinabatangan, seperti Suku Sogilitan, Rumanau, dan Tambanuo. Kapten Beeston juga mengundang Datu Pangeran Mamangku Negara, seorang pembesar lokal yang dihormati dan memiliki pengaruh besar di wilayah Labuk.

Dalam perundingan yang digelar di Pinangah, suku Dayak Labuk didakwa bersalah karena melakukan aktivitas “mangayou” (memburu kepala) secara berlebihan. Sebagai hukuman, mereka diwajibkan membayar sogit berupa 100 jenis barang sebagai kompensasi atas 18 tengkorak yang masih menjadi selisih dengan suku Kinabatangan.

Baca Juga :  Kedudukan dan Peran Bundo Kanduang di Minangkabau

Upacara Perdamaian dan Akhir Pertikaian

Setelah perundingan, dilakukan upacara perdamaian yang dikenal dengan sebutan “mitaruh.” Pada upacara ini, kedua belah pihak bersumpah untuk menghentikan praktik headhunting dan mematuhi hukum yang diberlakukan oleh Kompeni British. Dengan mengorbankan binatang dan memancang kayu sebagai simbol perdamaian, konflik yang telah berlangsung lama ini akhirnya dapat diselesaikan.

Ritual ini ditutup dengan pengibaran bendera Inggris dan tiga kali tembakan ke udara, yang menandai akhir dari konflik tersebut. Kedua belah pihak kemudian kembali ke wilayah masing-masing, membawa pesan damai dan janji untuk hidup harmonis di bawah hukum kolonial.

Dampak Jangka Panjang Perjanjian Pinangah

Perjanjian damai ini menjadi titik balik dalam sejarah hubungan antar suku Dayak Dusun di wilayah Labuk dan Kinabatangan. Sejak saat itu, kedua suku mulai hidup berdampingan dengan saling menghormati dan meninggalkan tradisi kekerasan yang telah lama mengakar. Peristiwa ini juga memperkuat pengaruh pemerintah kolonial Inggris di Sabah, yang semakin mengatur kehidupan masyarakat adat setempat.

Artikel ditulis dan disusun dari berbagai sumber refrensi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *