Salingka Media, Sumbar – Tari Alang Suntiang Panghulu adalah tarian adat yang berasal dari Nagari Padang Laweh, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat. Dahulu, tari ini hanya dibawakan di daerah Luhak Nan Tigo di Minangkabau, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluh Koto, dan merupakan tarian adat yang menjadi kebanggaan para Pangulu (Pemangku Adat).
Tarian ini hanya ditampilkan pada acara-acara khusus yang berhubungan dengan Pangulu.
Sebenarnya, tari ini sudah lama terpendam. Namun, supaya tarian tersebut tidak hilang, pada tahun 1960-an dihidupkan kembali oleh Bapak Djarmis. Beliau mereka ulang kembali gerakan-gerakan khas yang terdapat pada tari Alang Suntiang Panngulu ini dan mengajarkannya pada pemuda di ketiga nagari tersebut. Beliau juga memperkenalkan tarian khas daerah ini ke kota Bukittinggi agar lebih dikenal diluar wilayah nagari.
Walaupun telah dilakukan penelitian dan olah informasi di lapangan oleh para sejarawan, tetap tidak dapat diketahui secara pasti kapan awal mula terciptanya tari Alang Suntiang Panghulu ini.
Konon, tari ini dahulu hanya merupakan sebuah pertunjukan tari yang ditampilkan secara spontan pada acara pengangkatan penghulu atau “batagak pangulu” sebagai selingan dan hiburan pada upacara tersebut.
Sampai saat ini, tradisi upacara pengangkatan penghulu di nagari Padang Laweh, Kabupaten Agam, tersebut masih dilakukan diiringi oleh tarian ini. Kegiatan pengangkatan penghulu ini juga merupakan kesepakatan masyarakat untuk mengangkat penghulu menggantikan penghulu yang sudah meninggal.
Selain itu, sejarah tari Alang Suntiang Pangulu ini sudah cukup lama dan juga terkenal di nagari setempat. Hal tersebut ditandai dengan berdirinya beberapa kelompok penari yang langsung dibina oleh para tetua yang pernah membawakan tari tersebut. Penampilan atau pertunjukan tari Alang
Suntiang Pangulu ini sudah sering tampil diberbagai kegiatan berupa upacara adat, festival dan penyambutan tamu yang datang dari luar. Pada tahun 1973 tarian ini pernah dibawakan saat menyambut wakil presiden Republik Indonesia kala itu yang di jabat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang berkunjung ke Ambun Pagi, Matur, Kabupaten Agam.
Tari ini adalah tari adat Minangkabau yang menggambarkan keperkasaan burung elang dan simbol kebesaran para penghulu. Pada awal penampilan tari ini, penari yang tampil adalah dua pria yang sudah tua, kemudian menyusul penari yang lain sehingga jumlahnya bertambah menjadi empat, enam, sampai dua belas orang. Gerakan tarian meniru gerakan burung elang yang sedang berkeliling mengintai mangsanya, berdasarkan gerakan silat.
Dahulunya, tempat pertunjukan tarian adalah di dalam rumah gadang, diantara tonggak nan ampek, yaitu empat tiang pokok rumah adat Minangkabau. Namun, sekarang tarian juga dilakukan di dalam ataupun di luar gedung dengan mengunakan alas atau sejenis tikar.
Tari Alang Suntiang Pangulu ini dibawakan juga oleh salah seorang keponakan dari penghulu yang akan dinobatkan. Formasi penari terdiri dari 8 sampai 12 orang laki-laki atau berjumlah genap, dan tidak boleh berjumlah ganjil. Mereka menari dihadapan para penghulu yang akan dinobatkan.
Sebelumnya para penari tersebut membawa carano yang berisi sirih dan perlengkapan lainnya yang kemudian diletakan di hadapan para calon penghulu tersebut.
Dalam penampilan tari tersebut juga diiringi oleh musik pengiring. Pengiring tarian terdiri dari alat musik tradisional seperti adok, talempong jao, saluang dan pupuik baranak.
Disamping itu, tarian juga disertai dengan iringan vokal dengan lagu Pasalaman, Tanduk Buang, Dok Sinandong, Si Kumbang Cari, Adau-adau, Awan Bentang dan Si Jundai.
Tari Alang Suntiang Pangulu ini menggambarkan etika budaya masyarakat Minangkabau yang tidak membolehkan wanita untuk tampil menari dihadapan para penghulu yang akan dinobatkan.
Para kaum wanita biasanya bertugas sebagai penyedia makanan dan minuman kepada para penghulu dan juga para undangan yang hadir.
Para penari hanya terdiri dari kaum pria. Apabila dulu pernah disebutkan bahwa penarinya adalah wanita, sebenarnya yang menari adalah pria yang berpakaian seperti wanita. Sekarang para penari mengenakan baju, celana dan destar berwarna hitam.
Karena tarian ini sering dipertunjukkan, maka pakaian penarinya diperindah, yaitu bajunya dibuat dari kain beledu beraneka warna dengan tabur warna keemasan di bagian depan dan belakang.
Celananya sarawa lambuak, yaitu celana model Minangkabau yang disebut juga gunting enam. Pada bagian kaki disematkan hiasan. Ikat kepalanya disebut destar pelangi yang terbuat dari kain tenun berbenang emas.
Selanjutnya para penari juga memakai kain dan ikat pinggang berjumbai yang disebut cawek bajambuw. Segala macam pakaian yang digunakan oleh para penari pada tari tersebut merupakan bagian dari ragam pakaian adat tradisional yang ada di Minangkabau
Alat lain yang dikenakan sewaktu menari adalah keris yang disisipkan pada bagian punggung yang tertutup oleh baju.
Referensi :
Ensiklopedi Tari Indonesia
Wahyuni, Wahida; Yusfil, Yusfil; Suharti
Imran, Mhd Nefi; Noerdin, Sajoeti
ASMARYETTI
Nurana
Klik Positif
Asriati, Afifah
Falsafah Adat Minangkabau Sumatera Barat Kajian Estetika Tari
Khasanah Budaya Nusantara
Pos : wikipedia, Pos ulang : efri