
Salingka Media, Padang, 12 September 2025 – Jagat maya Minangkabau tengah bergejolak. Sebuah fenomena bernama “bacaruik” – tradisi lisan yang melibatkan umpatan dan kata-kata kasar – mendadak viral di media sosial. Namun, alih-alih dianggap sebagai kekayaan budaya yang unik, “bacaruik” justru menuai badai kritik dan perdebatan sengit. Mampukah tradisi ini bertahan di era digital tanpa mengorbankan nilai-nilai luhur budaya Minang?
Apa Itu “Bacaruik”?
“Bacaruik” adalah tradisi lisan dalam budaya Minangkabau yang melibatkan penggunaan kata-kata kasar atau umpatan. Dalam konteks tradisional, “bacaruik” biasanya dilakukan dalam situasi tertentu, seperti saat bercanda dengan teman sebaya atau sebagai ekspresi emosi yang kuat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, “bacaruik” mulai muncul di platform media sosial, seringkali sebagai bagian dari konten hiburan.
Pro dan Kontra
Pihak yang mendukung “bacaruik” berpendapat bahwa ini adalah bagian dari kekayaan budaya Minangkabau yang perlu dilestarikan. Mereka menganggap bahwa penggunaan kata-kata kasar dalam konteks tertentu dapat menjadi bentuk ekspresi yang jujur dan otentik. Selain itu, beberapa konten kreator berdalih bahwa “bacaruik” hanya digunakan sebagai bumbu dalam konten mereka dan tidak dimaksudkan untuk menyakiti atau menghina siapa pun.
Namun, pihak yang kontra berpendapat bahwa “bacaruik” di media sosial dapat memberikan dampak negatif, terutama bagi generasi muda. Mereka khawatir bahwa normalisasi penggunaan kata-kata kasar dapat merusak moral dan etika, serta mencoreng citra budaya Minangkabau yang dikenal santun dan beradab. Selain itu, konten “bacaruik” juga dianggap tidak pantas untuk dikonsumsi oleh anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap perkembangan.
Tinjauan dari Perspektif Budaya dan Agama
Dari perspektif budaya, “bacaruik” memang memiliki tempat tersendiri dalam tradisi Minangkabau. Namun, perlu diingat bahwa budaya Minangkabau juga menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keramahan, dan saling menghormati. Oleh karena itu, penggunaan “bacaruik” di ruang publik, terutama di media sosial, perlu dipertimbangkan dengan bijak.
Dari perspektif agama, Islam sebagai agama mayoritas di Minangkabau juga melarang umatnya untuk berkata-kata kotor atau menyakiti hati orang lain. Dalam Al-Quran dan hadis, terdapat banyak ayat dan riwayat yang menekankan pentingnya menjaga lisan dan menghindari perkataan yang buruk.
Pendapat Ricky Fernando, Aktivis Muda dari Kota Padang
Aktivis muda dari Kota Padang, Ricky Fernando, juga memberikan pandangannya mengenai fenomena “bacaruik” di media sosial. Menurutnya, “bacaruik” tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada tatanan sosial dan budaya Minangkabau secara keseluruhan.
Ricky Fernando menekankan bahwa “bacaruik” dapat merusak citra generasi muda Minangkabau. “Kita sebagai generasi muda seharusnya menjadi contoh yang baik bagi adik-adik kita. Kalau kita terus-menerus menggunakan kata-kata kasar, bagaimana mereka akan menghormati kita dan budaya kita?” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa penggunaan “bacaruik” di media sosial dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan tidak produktif. “Media sosial seharusnya menjadi tempat untuk berbagi informasi, berdiskusi, dan membangun jaringan. Tapi kalau isinya cuma umpatan dan kata-kata kotor, bagaimana kita bisa maju?” tambahnya.
Lebih lanjut, Ricky Fernando mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah daerah, untuk bersama-sama mengatasi masalah ini. “Kita harus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kesantunan berbahasa dan menghormati nilai-nilai budaya kita. Kita juga harus memberikan alternatif hiburan yang lebih positif dan mendidik bagi generasi muda,” tegasnya.
Ricky Fernando juga mengimbau kepada para konten kreator Minangkabau untuk lebih bertanggung jawab dalam menciptakan konten. “Jangan hanya mengejar popularitas dan keuntungan semata. Pikirkan juga dampak dari konten yang kita buat terhadap masyarakat.
Mari kita ciptakan konten yang kreatif, inovatif, dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya kita,” pungkasnya.
Dampak Negatif “Bacaruik”
1. Penurunan Toleransi: Penggunaan kata-kata kasar dapat memicu konflik dan mengurangi rasa hormat antarindividu. Hal ini dapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat, terutama di kalangan remaja.
2. Bullying dan Kekerasan Verbal: “Bacaruik” dapat menjadi bentuk bullying atau kekerasan verbal yang merusak kesehatan mental korban. Korban bullying sering kali mengalami stres, depresi, dan masalah psikologis lainnya.
3. Penurunan Literasi: Penggunaan bahasa yang buruk dapat menghambat kemampuan seseorang dalam memahami dan menyampaikan informasi dengan baik. Hal ini dapat berdampak negatif pada pendidikan dan karir.
4. Hilangnya Identitas Budaya: Kebiasaan menggunakan kata-kata kasar dapat mengikis nilai-nilai budaya yang luhur dan menggantinya dengan perilaku yang tidak mencerminkan identitas bangsa.
Menanggapi fenomena “bacaruik” di media sosial, penting bagi kita untuk menemukan titik keseimbangan antara kebebasan berekspresi, pelestarian budaya, dan etika bermedia sosial. Konten kreator perlu menyadari tanggung jawab mereka dalam menciptakan konten yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat. Sementara itu, masyarakat juga perlu lebih bijak dalam memilih dan mengonsumsi konten di media sosial.
Pemerintah dan tokoh masyarakat juga dapat berperan aktif dalam memberikan edukasi tentang etika bermedia sosial dan pentingnya menjaga nilai-nilai budaya yang luhur. Dengan demikian, kita dapat menciptakan ruang digital yang sehat dan produktif, serta melestarikan budaya Minangkabau tanpa harus mengorbankan moral dan etika.