
Dalam khazanah budaya Minangkabau, terdapat banyak pepatah dan peribahasa yang menjadi pedoman hidup dan cerminan kearifan lokal. Salah satu yang paling fundamental adalah “Kato Putuih di Limbago, Kato Lalu di Mufakat”. Pepatah ini bukan sekadar susunan kata, melainkan sebuah filosofi mendalam tentang bagaimana masyarakat Minangkabau mengambil keputusan, menyelesaikan masalah, dan menjaga keharmonisan sosial.
Memahami Makna “Kato Putuih di Limbago, Kato Lalu di Mufakat”
Secara harfiah, pepatah ini dapat diartikan sebagai berikut:
- “Kato Putuih di Limbago”: Kata atau keputusan yang final diambil dalam lembaga adat.
- “Kato Lalu di Mufakat”: Kata atau keputusan tersebut kemudian disahkan melalui proses mufakat (persetujuan bersama).
Makna yang terkandung jauh lebih kaya. Pepatah ini menjelaskan bahwa setiap keputusan penting yang menyangkut kepentingan bersama dalam masyarakat Minangkabau harus melalui proses musyawarah yang berjenjang. Dimulai dari pembahasan di tingkat lembaga adat seperti Kerapatan Adat Nagari (KAN) atau pertemuan para niniak mamak (pemuka adat), hingga akhirnya mencapai mufakat atau kesepakatan bersama seluruh komponen masyarakat.
Prinsip ini sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau, baik dalam urusan adat, sosial, ekonomi, hingga penyelesaian sengketa. Tidak ada keputusan yang bisa diambil secara sepihak atau otoriter. Semuanya harus melalui “limbago” (lembaga) yang sah dan mendapatkan “mufakat” dari seluruh pihak terkait.
Pilar Demokrasi Tradisional Minangkabau
Filosofi “Kato Putuih di Limbago, Kato Lalu di Mufakat” adalah representasi kuat dari demokrasi tradisional Minangkabau. Ia mencerminkan nilai-nilai luhur seperti:
- Kebersamaan dan Gotong Royong: Keputusan yang diambil bersama akan lebih mudah dilaksanakan karena semua merasa memiliki tanggung jawab.
- Penghargaan terhadap Pendapat: Setiap suara dan pandangan dihargai, memastikan bahwa kepentingan setiap individu atau kelompok dipertimbangkan.
- Keadilan dan Kesetaraan: Proses mufakat mencegah dominasi satu pihak dan memastikan keputusan yang adil bagi semua.
- Penyelesaian Konflik secara Damai: Musyawarah menjadi sarana utama untuk mencari solusi atas perbedaan pendapat atau perselisihan tanpa kekerasan.
Prinsip ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem hukum adat Minangkabau. Contoh implementasi nyata bisa dilihat dalam rapat-rapat adat, pembangunan fasilitas umum, atau bahkan pembagian warisan adat yang selalu mengedepankan musyawarah.
Relevansi di Era Modern
Meskipun berakar pada tradisi, nilai-nilai yang terkandung dalam “Kato Putuih di Limbago, Kato Lalu di Mufakat” tetap sangat relevan di era modern. Dalam konteks kehidupan bernegara, berorganisasi, atau bahkan dalam lingkungan keluarga, prinsip musyawarah mufakat adalah kunci untuk membangun keharmonisan dan mencapai tujuan bersama.
Filosofi ini mengajarkan kita tentang pentingnya dialog, mendengarkan, menghargai perbedaan, dan mencari titik temu demi kemaslahatan bersama. Ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana membangun konsensus dan menciptakan keputusan yang inklusif serta berkelanjutan.