
Salingka Media – Kota Payakumbuh, yang dikenal teguh memegang tradisi keagamaan dan adat, kini menghadapi polemik besar menyusul gelaran Sarga Festival pada Sabtu, 27 September 2025. Acara hiburan yang semula dimaksudkan untuk mempromosikan budaya dan mendukung olahraga berkuda ini, justru berujung pada kecaman keras dari sejumlah ulama dan tokoh masyarakat. Pemicunya adalah sebuah insiden saat musik DJ dimainkan, di mana lirik lagu populer diubah menjadi frasa kontroversial “Tuhan Den Paso,” sebuah tindakan yang dinilai merendahkan dan bahkan menghina konsep ketuhanan.
Kemarahan ulama ini terekam jelas dalam sebuah video yang menjadi viral di media sosial sejak Kamis, 2 Oktober 2025. Video tersebut memperlihatkan tokoh-tokoh agama di Payakumbuh dan Kabupaten Lima Puluh Kota menyuarakan protes mereka dengan nada tegas dan penuh keprihatinan. Mereka khawatir bahwa nilai-nilai agama yang dijunjung tinggi di Ranah Minang telah dinodai oleh sebuah hiburan publik. Peristiwa ini dengan cepat menjadi sorotan nasional, menyoroti pentingnya kepekaan dan kurasi konten dalam setiap acara yang diselenggarakan di tengah masyarakat yang religius. Masyarakat Payakumbuh kini menunggu klarifikasi resmi, tetapi insiden lirik “Tuhan Den Paso” sudah terlanjur memicu perdebatan sengit tentang batas-batas toleransi antara hiburan dan norma agama.
Perubahan Lirik yang Melampaui Batas Toleransi Agama
Kontroversi ini berpusat pada perubahan lirik lagu Minang populer berjudul Patah Bacinto. Lirik aslinya yang mengandung pesan pasrah dan ketuhanan berbunyi: “Kok indak jodoh, Tuhan Kuaso” yang berarti “Kalau tidak jodoh, Tuhan Maha Kuasa.” Namun, pada sesi DJ yang menampilkan penyanyi Minang Ratu Sikumbang dan DJ lokal Damonok, sejumlah penonton secara kompak menyanyikan plesetan lirik tersebut menjadi “Tuhan Den Paso,” yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “Tuhan saya paksa.”
Perubahan kata dari Kuaso (Maha Kuasa) menjadi Den Paso (Saya Paksa) secara langsung dianggap sebagai bentuk penentangan terhadap takdir dan kehendak Tuhan. Bagi masyarakat yang memegang teguh ajaran Islam, frasa ini bukan sekadar plesetan biasa, melainkan pelecehan terhadap keyakinan fundamental. Aktivis dakwah Sumatera Barat, Ustaz Muhammad Siddiq, menyatakan bahwa tindakan ini sangat melukai perasaan umat beragama dan tidak pantas diucapkan, terutama oleh generasi muda. Ia menilai, tindakan nekad menentang takdir Tuhan semacam ini sangat merisaukan keadaan moral generasi muda.
Reaksi Keras dari Tokoh Agama dan Adat
Respon dari ulama dan tokoh masyarakat setempat sangatlah tegas dan tidak kompromi. Dalam rekaman video yang beredar, salah seorang ulama dengan lantang menyampaikan penegasan: “Insya Allah, kami orang beragama. Jangan bawa paham-paham anti agama ke kota kami.” Pernyataan tersebut mencerminkan sikap mayoritas masyarakat Payakumbuh yang secara historis dikenal menjunjung tinggi falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum Islam, hukum Islam bersendikan Al-Qur’an dan Sunnah).
Tokoh adat setempat juga ikut bersuara, menekankan bahwa mereka tidak anti terhadap hiburan, tetapi menolak keras apabila hiburan tersebut menabrak norma dan nilai-nilai agama yang menjadi pondasi kehidupan. Mereka menggarisbawahi pentingnya menghormati nilai-nilai lokal. Sikap ini mendapat dukungan luas dari masyarakat yang merasa bahwa kehormatan kota yang religius telah dicederai oleh kelalaian dalam penyelenggaraan festival.
Ketiadaan Klarifikasi Memperbesar Kemarahan Publik
Hingga berita ini ditulis, pihak panitia penyelenggara Sarga Festival belum memberikan klarifikasi resmi terkait insiden kontroversial Tuhan Den Paso ini. Ketika dihubungi oleh media lokal, sebagian panitia memilih untuk bungkam, sementara yang lain hanya menyebutkan bahwa mereka sedang melakukan evaluasi internal. Ketiadaan permintaan maaf terbuka ini justru dinilai memperburuk situasi dan memperbesar kemarahan publik.
Di berbagai platform media sosial, isu ini langsung meledak. Tagar seperti #UlamaPayakumbuh, #TuhanDenPaso, dan #KonserKontroversi menjadi trending, menunjukkan besarnya perhatian masyarakat terhadap polemik ini. Kalangan ulama dan organisasi keagamaan juga sudah secara terbuka menuntut pertanggungjawaban panitia. Ustaz Siddiq menegaskan bahwa ulama masih bersifat persuasif, memberikan nasihat untuk bertaubat, namun jika panitia tidak segera meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat, mereka tidak akan ragu untuk mengambil langkah hukum.