Minangkabau Dan Kerajaan Sriwijaya

Minanga Tamwan yang berarti pertemuan orang Minang

Albar S Subari SH, MH
            Albar S Subari SH, MH

Salingka Media, Sejarah – Kerajaan Sriwijaya yang berkembang sejak abad ke-7 dan mulai mengalami kemunduran pada abad ke-13, keberadaannya tidak lepas dari keberadaan Minangkabau.

Menurut Ketua Pembina Adat Sumsel Albar S Subari SH, MH kerajaan ini didirikan oleh Dapunta Hiyang yang memimpin pasukan sebanyak 20.000 orang, menaiki sampan dan mendirikan kerajaan Sriwijaya yang mendapat berkah.

Berawal dari rombongan ini, ada yang melanjutkan ke Selat Malaka dan Selat Sunda untuk menguasai perdagangan di Asia Tenggara saat itu.

Kabar ini terdapat dalam prasasti Kedukan Bukit (634M) yang menyebutkan bahwa rombongan berangkat dari “Minanga Tamwan” yang berarti “pertemuan orang Minang”, yang berada di dekat PLTA Koto Panjang sekarang.

Pada abad ke-13 kerajaan Sriwijaya mulai mengalami kemunduran, Kerajaan Melayu yang berada di pesisir timur Sumatera mulai melepaskan diri dari Sriwijaya.

Pada tahun 1275 datanglah ekspedisi dari Kerajaan Singosari ke kerajaan Melayu Darmasraya yang terletak di sekitar sungai Langsek, sekarang bernama kecamatan Sawah Lunto Sijunjung.

Sejak saat itu nama Melayu Darmasraya kemudian menjadi Melayu Minangkabau.

Ekspedisi Pamalayu ini kembali ke Jawa pada tahun 1292 dengan membawa dua putri Melayu, Dara Petak dan Dara Jingga (baca di buku Pararaton, buku sejarah kuno).

Dara Petak menjadi permaisuri raja Majapahit pertama yaitu Raden Wijaya, pernikahan mereka melahirkan putra mahkota Jayanegara yang kemudian menjadi raja kedua Mojopahit. Dara Jingga menikah dengan seorang Manti, seorang perantau Minang yang bernama Dewa Tuan.

Tuanwan, wan berarti gelar Sumatera dan lahirlah Adityawarman.

Adityawarman, putra siguntur di dekat sungai Langsek, lahir pada tahun 1294.

Nama Adityawarman tertera dalam prasasti Manjusri du Jago candi Malang, Jawa Timur yang menyebutkan bahwa Adityawarman berada di kerajaan Rajapatni yang dianggap saudaranya sendiri.

Ia juga membangun vihara Buddha untuk memudahkan pemindahan arwah orang tua dan kerabatnya dari alam dunia ke alam surga. Hal ini terjadi pada tahun 1265 Saka atau tahun 1332 Masehi.

Baca Juga :  Cindua Mato: Sang Penyelamat Pagaruyung dalam Pusaran Intrik dan Keberanian

Tidak lama kemudian, ia kembali ke Malaya dan menjadi raja Melayu Darmasraya pada tahun 1347.

Ia memperluas kekuasaannya hingga ke pedalaman Minangkabau, tempat yang strategis untuk menguasai perdagangan hingga pesisir timur dan barat Sumatera.

Kerajaannya bernama Kanakamedinidra atau pulau emas.

Salah satu pembantu Adityawarman adalah Tuan Parpatih, orang yang membantu mengatur masyarakat dengan musyawarah.

Inilah kebangkitan adat Minangkabau menurut dua sistem yang disebut Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Chaniago, di bawah tokoh Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang.

Di penghujung hayatnya, Adityawarnan berselisih dengan rekannya di Darmasraya, saat itu usianya 80 tahun, ia menobatkan putranya sebagai Putra Mahkota.

Pada saat yang sama, pancaran Islam berkembang di Sumatera, karena pesisir barat dan timur banyak terdapat pedagang muslim.

Kerajaan Samudera Pasai berdiri dan menyebarkan pengaruhnya ke seluruh Nusantara melalui kota Malaka.

Maka dari itu penulis mencoba mencari literature yang ada, tentu saja ini bukan satu-satunya informasi, pasti ada pendapat lain yang tentunya saling mendukung.

 

Referensi :

Sumber : Sripoku. com
Penulis : Salman Rasyidin
Dikutip dari : Tribunnews, Sari Bundo. biz

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *