
Salingka Media – Bencana alam seringkali meninggalkan jejak kerusakan yang meluas, namun ancaman nyata bagi korban pengungsian justru seringkali datang dari risiko kesehatan. Sejumlah wilayah di Sumatra yang baru saja dilanda banjir dan longsor sejak akhir November hingga awal Desember 2025 kini menghadapi tantangan kesehatan baru yang mendesak. Data terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan adanya Peningkatan Kasus Demam Pasca Banjir Sumatra secara signifikan di pos-pos pengungsian. Peningkatan Kasus Demam Pasca Banjir Sumatra ini menjadi indikator kuat bahwa kondisi lingkungan pascabencana sangat rentan, memerlukan respons cepat dari pemerintah dan partisipasi aktif dari masyarakat terdampak.
Dari tiga provinsi yang terdampak parah, Sumatra Barat menjadi fokus utama dengan lonjakan kasus demam paling tinggi. Kemenkes mencatat bahwa, selama periode 25 hingga 29 November 2025, tercatat ratusan keluhan kesehatan di lima kabupaten, meliputi Pasaman, Pasaman Barat, Agam, Pesisir Selatan, dan Tanah Datar.
Data rinci menunjukkan dominasi kasus yang terkait dengan infeksi dan gejala umum sakit:
-
Demam: 376 kasus
-
Nyeri Otot (Myalgia): 201 kasus
-
Gatal-gatal: 120 kasus
-
Gangguan Pencernaan (Dispepsia): 118 kasus
-
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA): 116 kasus
-
Hipertensi: 77 kasus
-
Luka-luka: 62 kasus
-
Sakit Kepala: 46 kasus
-
Diare: 40 kasus
-
Asma: 40 kasus
Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Bapak Agus Jamaludin, menyoroti bahwa temuan ini adalah alarm serius. Dalam keterangan resminya pada Rabu (3/12/2025), ia menyatakan, “Faktor utama naiknya kasus demam adalah kondisi tempat pengungsian yang padat, sanitasi yang tidak memadai, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap air bersih dan alat pelindung diri. Semua faktor ini menciptakan lingkungan ideal bagi penyebaran penyakit.”
Pola peningkatan kasus kesehatan yang hampir identik juga dilaporkan terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara. Selama periode yang sedikit lebih panjang, yakni 25 November hingga 1 Desember 2025, Kemenkes menemukan kondisi yang sama menekan layanan kesehatan darurat.
Keluhan yang dominan di Tapanuli Selatan mencakup:
-
Demam: 277 kasus
-
Nyeri Otot (Myalgia): 151 kasus
-
Gatal-gatal: 150 kasus
-
ISPA: 96 kasus
-
Gangguan Pencernaan (Dispepsia): 94 kasus
-
Hipertensi: 75 kasus
-
Luka-luka: 45 kasus
-
Sakit Kepala: 23 kasus
-
Diare: 23 kasus
-
Asma: 3 kasus
Ketidakmampuan dalam mengendalikan pergerakan pengungsi, keterbatasan hunian sementara, dan sanitasi yang buruk diyakini menjadi penyebab utama tekanan kesehatan di Tapanuli Selatan.
Situasi sedikit berbeda terjadi di Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh. Pada periode 25 hingga 30 November, keluhan yang paling banyak tercatat adalah:
-
Luka-luka: 35 kasus
-
ISPA: 15 kasus
-
Diare: 6 kasus
Kondisi geografis yang sulit dan proses evakuasi yang memakan waktu lama di daerah ini diduga kuat berkontribusi pada dominasi kasus cedera fisik dan luka-luka ringan hingga sedang.
Selain keluhan yang sudah tercatat, Kemenkes mengeluarkan peringatan keras mengenai potensi munculnya dua penyakit serius yang seringkali mengikuti fase pascabencana: Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Leptospirosis.
-
Demam Berdarah Dengue (DBD): Air yang tergenang akibat banjir menjadi sarang sempurna bagi nyamuk Aedes aegypti. Kombinasi cuaca lembap dan kepadatan populasi di pengungsian dapat mempercepat penularan DBD dalam hitungan hari.
-
Leptospirosis: Penyakit yang disebabkan bakteri ini menular melalui air banjir yang telah tercemar oleh urine tikus atau hewan lain, menginfeksi manusia melalui luka terbuka atau paparan pada kulit. Bapak Agus Jamaludin secara spesifik mengingatkan, “Derasnya arus banjir yang membawa kotoran hewan dan kontaminasi air dapat meningkatkan risiko leptospirosis. Kewaspadaan dini harus dilakukan.”
Melihat tren peningkatan kasus, Kemenkes telah mengambil langkah cepat dengan mengirimkan sumber daya tambahan ke lokasi. Bantuan yang dikerahkan meliputi:
-
Penambahan tenaga kesehatan profesional.
-
Pengiriman logistik kedaruratan.
-
Penyediaan obat-obatan esensial yang diperlukan.
-
Penguatan pos-pos kesehatan di wilayah terdampak.
“Fokus utama kami saat ini adalah mencegah penularan penyakit agar tidak meluas dan meminimalkan risiko komplikasi yang dapat memperparah kondisi korban bencana,” tegas Agus.
Surutnya air banjir tidak berarti risiko kesehatan ikut mereda; sebaliknya, ancaman penyakit cenderung meningkat secara diam-diam dan seringkali terlambat diantisipasi. Oleh karena itu, Kemenkes mengimbau masyarakat di wilayah bencana untuk menerapkan enam pilar utama Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai garis pertahanan terdepan.
Ini mencakup menjaga kebersihan diri dan lingkungan, rutin mencuci tangan, mengonsumsi makanan dan air yang terjamin keamanannya, mengelola lingkungan pengungsian agar tetap kering, serta menerapkan langkah 3M Plus untuk mencegah DBD. Warga juga dianjurkan untuk segera melaporkan dan memeriksakan diri ke pos kesehatan terdekat jika merasakan gejala awal seperti demam, gatal, atau diare. Upaya kolektif antara penguatan layanan medis dan disiplin PHBS akan menjadi penentu pemulihan kesehatan masyarakat di daerah-daerah yang sedang bangkit dari dampak bencana.





