Indeks

Tarif Impor AS Belum Sentuh 47 Persen untuk Produk RI

Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Surplus ini didapatkan dari ekspor September 2021 yang mencapai US$20,60 miliar dan impor September 2021 yang tercatat senilai US$16,23 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Salingka Media – Belakangan, muncul kekhawatiran di kalangan eksportir soal kabar produk Indonesia, terutama dari sektor tekstil, bakal dikenai tarif impor hingga 47 persen oleh pemerintah Amerika Serikat. Tapi menurut Kementerian Perdagangan RI, kabar ini nggak sepenuhnya akurat.

Djatmiko Bris Witjaksono, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional di Kemendag, menegaskan bahwa angka 47 persen itu nggak bisa digeneralisir. “Tarif impor AS sangat tergantung pada jenis produk dan klasifikasi HS Code-nya. Nggak semua barang dikenai tarif setinggi itu,” jelasnya dalam konferensi pers, Senin (21/4/2025).

Tarif yang saat ini berlaku untuk produk Indonesia masih mengacu pada skema Most Favoured Nation (MFN). Nah, di atas itu, AS mengenakan tarif dasar tambahan sebesar 10 persen. Jadi, kalau sebelumnya suatu barang dikenai tarif 5 persen, sekarang jadi 15 persen. Begitu pula produk dengan tarif awal 10 persen, otomatis naik ke 20 persen.

Rincian Tarif: Mana yang Kena Kenaikan dan Mana yang Enggak

Djatmiko menjabarkan bahwa produk tekstil dan garmen asal Indonesia dikenai tarif MFN antara 5 hingga 20 persen. Dengan penambahan tarif dasar dari AS, totalnya bisa naik ke kisaran 15–30 persen. Alas kaki juga kena pola yang sama—tarif awal 8–20 persen, lalu ditambah 10 persen dari tarif dasar.

Tapi beda cerita buat produk seperti baja, aluminium, hingga otomotif. Barang-barang ini masuk dalam kategori sektoral yang terkena tarif khusus sebesar 25 persen. Jadi, aturan tarifnya berdiri sendiri dan nggak ditambah lagi dengan tarif dasar atau resiprokal.

Kebijakan Tarif AS Masih Dinamis, Belum Final

Selain tarif dasar dan sektoral, AS juga menerapkan tarif resiprokal sebesar 32 persen untuk beberapa produk Indonesia. Tapi untungnya, saat ini masih ada masa tenggang 90 hari untuk negosiasi. Artinya, belum semua kebijakan diterapkan penuh.

“Tarif-tarif ini masih bisa berubah. Pemerintah Indonesia terus menjalin komunikasi intensif dengan otoritas di Washington. Sampai sekarang, belum ada putusan final,” tambah Djatmiko.

Perlu dicatat, AS memang sedang menerapkan kebijakan dagang baru yang lebih ketat, tapi itu berlaku ke banyak negara mitra dagang. Kanada dan Meksiko jadi pengecualian karena punya perjanjian USMCA dengan AS.

Pelaku Ekspor Diminta Tetap Waspada dan Update

Djatmiko mengingatkan para pelaku usaha agar tetap aktif memantau perkembangan kebijakan dagang Amerika. Tarif yang diberlakukan tidak serta-merta dikenakan serentak ke semua sektor. Bila suatu produk sudah kena tarif sektoral, maka tarif dasar dan tarif resiprokal nggak lagi diberlakukan ke produk itu.

Jadi, meskipun suasananya kelihatan panas, masih banyak ruang negosiasi. Pelaku ekspor pun diimbau nggak panik, tapi tetap siap dengan segala skenario.

Exit mobile version