
Salingkamedia – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Barat menuntut pemerintah segera menutup secara permanen seluruh aktivitas tambang sirtu Gunung Sariak karena memicu kerusakan parah pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Kuranji. Organisasi lingkungan ini menilai kegiatan pengerukan pasir dan batu tersebut telah melampaui batas kemampuan lingkungan sehingga menciptakan ancaman bencana ekologis yang nyata bagi penduduk Kota Padang.
Kepala Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan WALHI Sumbar, Tommy Adam, menyebutkan bahwa banjir bandang di kawasan Kuranji merupakan dampak nyata dari pembiaran kejahatan ekologis. Aktivitas tambang sirtu Gunung Sariak yang berada tepat di jantung hulu sungai merusak sistem serapan air alami di perbukitan Bukit Barisan.
Pengerukan lahan secara masif mengubah bentang alam dan mempercepat aliran air hujan menuju sungai. Kondisi ini membawa material sedimen dalam jumlah besar yang memicu pendangkalan Sungai Batang Kuranji. Akibatnya, warga yang tinggal di wilayah hilir harus menanggung risiko banjir bandang setiap kali hujan lebat turun.
Menanggapi dampak buruk tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengambil tindakan tegas dengan menyegel lima perusahaan tambang di wilayah Sumatera Barat. Perusahaan tersebut meliputi PT Parambahan Jaya Abadi (PJA), PT Dian Darrel Perdana, CV Lita Bakti Utama, CV Jumaidi, dan PT Solid Berkah.
Hasil investigasi KLH menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan ini mengabaikan sistem drainase tambang yang layak dan tidak memiliki kendali erosi yang memadai. Kelalaian ini menyebabkan sedimentasi tinggi yang menyumbat aliran sungai. Selain itu, posisi lubang tambang berada sangat dekat dengan pemukiman warga sehingga membahayakan keselamatan jiwa secara langsung.
WALHI Sumbar menemukan fakta bahwa batas wilayah izin PT PJA hanya berjarak 45 meter dari rumah penduduk. Jarak ini melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2014 yang menetapkan batas aman minimal sejauh 500 meter. Pelanggaran ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan ancaman langsung terhadap nyawa masyarakat sekitar.
Selain masalah jarak, operasional tambang sirtu Gunung Sariak juga menabrak Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Padang tahun 2023. Sebagian area tambang justru masuk ke dalam zona pertanian hortikultura. Praktik ini melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan mengancam ketahanan pangan lokal di daerah tersebut.
Berdasarkan pantauan citra satelit tahun 2025, perusahaan membuka hampir seluruh wilayah izin tambang secara serampangan tanpa melakukan reklamasi progresif. Metode ini menyalahi prinsip penambangan yang baik sesuai aturan Kementerian ESDM.
Catatan hukum juga menunjukkan Polresta Padang pernah menangkap pihak PT Parambahan Jaya Abadi pada Desember 2024 terkait dugaan pelanggaran UU Minerba. Lemahnya pengawasan membuat industri ekstraktif ini terus beroperasi meski berada di kawasan rawan bencana.
WALHI Sumbar menegaskan bahwa pemulihan DAS Kuranji adalah harga mati. Jika pemerintah tidak segera menghentikan tambang sirtu Gunung Sariak, Kota Padang akan menghadapi krisis air bersih, longsor, dan banjir bandang yang jauh lebih besar di masa depan.





