Guru Besar IPB: Sawit Bukan Penyebab Banjir Sumatera

Pemulihan Pascabencana Padang Panjang Dipercepat Memasuki Masa Transisi Tanggap Darurat
Pemulihan Pascabencana Padang Panjang Dipercepat Memasuki Masa Transisi Tanggap Darurat – Dok. Humas

Salingka Media – Masyarakat sering melontarkan kritik keras, menuding perkebunan kelapa sawit sebagai biang keladi di balik bencana banjir bandang yang menghantam wilayah Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar). Anggapan ini meluas seiring meningkatnya intensitas bencana di Pulau Sumatera. Namun, pakar-pakar dari IPB University menepis tuduhan tersebut. Guru Besar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB University, Suwardi, secara tegas menyatakan bahwa kontribusi perkebunan sawit terhadap banjir bandang tergolong sangat rendah, menegaskan bahwa Sawit Bukan Penyebab Banjir Sumatera.

Suwardi menjelaskan bahwa penyebab utama bencana justru muncul dari kombinasi perubahan iklim ekstrem dan aktivitas pemanenan hutan di area dengan topografi curam. Faktor lereng curam, menurutnya, jauh lebih dominan memicu bencana daripada keberadaan kelapa sawit. Sawit Bukan Penyebab Banjir Sumatera menjadi pernyataan penting yang memerlukan pemahaman mendalam mengenai karakter tanah dan curah hujan ekstrem.

Tanah di Sumatera memiliki karakteristik yang membuatnya rentan terhadap erosi. Jenis-jenis tanah berwarna merah seperti Inceptisol, Ultisol, atau Oxisol yang dominan di kawasan ini memiliki lapisan yang tipis dan solum dangkal, menyebabkan daya serap airnya kecil. Jika curah hujan sangat besar, tanah tidak mampu menyerap air secara optimal sehingga menciptakan air limpasan yang masif di atas permukaan. Aliran permukaan ini membawa material tanah dan memicu erosi, yang semakin besar dampaknya pada tanah berlereng curam.

Pakar ilmu tanah IPB University, Basuki Sumawinata, mendukung pandangan ini dengan menyoroti peran siklon tropis. Ia menerangkan, banjir besar yang melanda sejumlah wilayah Sumatera merupakan dampak langsung dari siklon tropis yang membawa hujan ekstrem dalam waktu sangat singkat. Basuki mencatat curah hujan (CH) selama siklon bisa mencapai 400 milimeter (mm) dalam satu hingga tiga hari, melampaui rata-rata bulanan yang biasanya hanya 150-200 mm.

Baca Juga :  Operasi SAR Cilacap, 16 Korban Tewas Akibat Longsor Majenang, Tujuh Masih Hilang

“Ketika 400 mm air turun hanya dalam beberapa hari, tanah tidak mungkin mampu meresapkan air. Hal ini menyebabkan aliran permukaan yang masif,” terang Basuki. Tidak ada sistem lahan di muka bumi yang mampu menangani volume air sebesar itu.

Basuki menambahkan bahwa meskipun infiltrasi hutan primer memang lebih baik daripada kebun sawit, sistem lahan apapun tidak akan mampu menahan 400 mm hujan per hari. Ia bahkan menyebutkan, pada hutan primer pun akan terjadi run off besar ketika hujan ekstrem melanda lereng yang curam. Bahkan, erosi dan longsor justru lebih mungkin terjadi di hutan alami yang berada di topografi curam karena tidak adanya pengelolaan lahan seperti di perkebunan.

Dalam kondisi normal, tanah yang tertutup vegetasi seperti hutan, kelapa sawit, kopi, karet, atau pohon dari hutan tanaman industri (HTI) relatif lebih aman terhadap risiko banjir dan erosi dibandingkan tanah yang terbuka. Perkebunan kelapa sawit modern sendiri umumnya tumbuh di lahan bekas kebun karet rakyat, belukar, atau wilayah bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan bukan dibuka dari hutan primer.

Baca Juga :  Bupati Hamsuardi Kunjungi Menko Marves, Bahas Soal Pupuk Dan Sawit

Basuki menegaskan, sejumlah stigma negatif yang sering diarahkan ke sawit, termasuk tuduhan bahwa Sawit Bukan Penyebab Banjir Sumatera harus diluruskan dengan data ilmiah. Ia menekankan bahwa kebun sawit tidak dibangun di lereng curam yang berisiko longsor; lereng yang digunakan hanya sampai sekitar 15-20% karena di atas itu operasionalnya menjadi tidak ekonomis.

Para pakar IPB mendesak pemerintah daerah untuk secara ketat mengawasi dan menerapkan kebijakan tata ruang. Prinsip utama penggunaan lahan harus menjaga kawasan hulu dan sempadan sungai sebagai zona lindung, membatasi alih fungsi lahan pada daerah resapan, dan menerapkan tata ruang berbasis daya dukung lingkungan. Pengendalian harus terpadu dari hulu hingga hilir.

Lebih lanjut, Basuki juga menyoroti fungsi ekologis kelapa sawit. Dengan laju fotosintesis tinggi, sawit memiliki potensi sebagai carbon sink yang efektif. Penyerapan karbon kebun sawit, bahkan, disebutnya jauh lebih tinggi daripada hutan primer. Dari sisi lingkungan, sawit tetap memiliki fungsi yang lebih baik dibanding tanah terbuka atau belukar.

Suwardi mengkritik rencana pemerintah untuk mengembalikan lahan sawit menjadi hutan sebagai evaluasi atas banjir. Ia berpendapat bahwa lebih baik fokus pada penghutanan lahan yang benar-benar terbuka tanpa vegetasi. Pengelolaan sawit yang ramah lingkungan harus dimulai dari penentuan lahan yang tepat—hanya di Areal Penggunaan Lain (APL) dan bukan di kawasan hutan—serta penerapan teknik budidaya dan pengendalian erosi yang baik.

Baca Juga :  Pemerintah Tetapkan Status Siaga Bencana Sumbar Akibat Cuaca Ekstrem Hantam 7 Daerah

Kesimpulannya, bencana banjir di Sumatera merupakan fenomena kompleks yang dipicu oleh hujan ekstrem dari siklon tropis, diperparah oleh kondisi tanah yang rentan erosi di lereng curam, serta lemahnya tata ruang dalam pemanfaatan lahan. Para ahli ilmu tanah IPB University secara konsisten memberikan bukti ilmiah bahwa kelapa sawit berperan sangat kecil dalam pemicuan bencana ini. Selain itu, industri kelapa sawit memberikan dampak ekonomi yang sangat besar bagi jutaan masyarakat Indonesia. Komoditas ini bahkan memiliki peran strategis sebagai solusi krisis energi global karena potensinya diolah menjadi bahan bakar minyak. Fokus utama harus beralih pada sistem prediksi dan mitigasi bencana siklon tropis, serta penguatan tata ruang untuk melindungi kawasan hulu. Artikel ini kembali menegaskan bahwa Sawit Bukan Penyebab Banjir Sumatera.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *