
Pada era kolonial, Batavia memiliki kisah-kisah kriminal yang melegenda. Salah satu nama yang paling menonjol adalah Amat “Kocolan,” seorang PREMAN BETAWI ZAMAN BELANDA yang kemasyhurannya bahkan diakui oleh media massa seperti De Locomotief dan De Sumatra Post pada Juni 1936, yang menjulukinya sebagai “raja gangster.” Julukan “Kocolan” sendiri, yang berarti ikan gabus, disematkan karena ia dikenal sangat licin, lincah, dan selalu berhasil lolos dari kejaran aparat.
Kemampuan Amat Kocolan dalam menghindari penangkapan membuat para wartawan penasaran. Suatu kali, dalam sebuah wawancara, ia ditanya mengapa dirinya tidak pernah celaka atau terluka parah meski sering berurusan dengan petugas. Dengan tenang, Amat Kocolan mengungkapkan rahasia di balik kekebalan tubuhnya. Ia mengaku memiliki “isian” yang tersembunyi di pipi kanannya. Menurutnya, jimat ini jauh lebih superior daripada susuk biasa yang dianggapnya merepotkan dan bisa tidak berfungsi di tempat yang salah. Dengan “isian” ini, ia tidak hanya sulit dilukai, tetapi juga memiliki daya tahan luar biasa terhadap rasa sakit.
Selain mengandalkan jimat, Amat Kocolan adalah penjahat yang cerdas. Ia menggunakan pistol jenis revolver—atau yang lebih dikenal sebagai “beceng”—untuk melancarkan aksinya. Amat menjelaskan kepada wartawan bahwa senjata api jenis ini mudah didapatkan di kawasan Priok. Peredaran senjata api, baik pistol maupun revolver, akan selalu ada selama Priok masih beroperasi. katanya. Amat Kocolan menyebutkan bahwa banyak perantara, mulai dari pelaut hingga orang Tionghoa, yang menjual pistol dan revolver, tapi ia lebih memilih revolver.
Pembicaraan dengan wartawan kemudian beralih ke urusan bisnis gelapnya. Amat Kocolan secara blak-blakan menyebutkan tarif untuk membunuh seseorang. Ia membenarkan kabar yang beredar bahwa dengan 15 gulden, seseorang bisa “diatur” untuk mati. Dengan bayaran lima belas gulden, telinga korban bisa dikirimkan kepada pemesan. ungkapnya, menunjukkan betapa kejamnya tarif tersebut. Namun, menariknya, ia mengaku tarif itu berlaku sebelum 1936. Menariknya, di tahun itu biaya untuk “melenyapkan seseorang” justru menurun. “Sekarang ini Anda dapat dengan mudah melakukannya dengan sepuluh gulden,” katanya, menyiratkan bahwa kejahatan semakin mudah dilakukan seiring waktu.
Kisah PREMAN BETAWI ZAMAN BELANDA ini menunjukkan sisi gelap Jakarta pada era kolonial. Amat Kocolan bukan hanya sekadar penjahat biasa, melainkan sosok yang cerdas dan terorganisir. Ia mampu bertahan dan terus beraksi dengan mengandalkan keberanian, senjata, dan jimatnya. Kisah tentang Amat “Kocolan” adalah bukti bahwa di tengah gemerlapnya Batavia, ada dunia kriminal yang beroperasi dengan aturan dan “profesionalitas” mereka sendiri.