Pameran Etnofotografi Edi Utama Ungkap Akar Spiritual dan Budaya Minangkabau: Mengapa Kita Wajib Jaga Hulu Budaya Minangkabau?

Pameran Etnofotografi Edi Utama Ungkap Akar Spiritual dan Budaya Minangkabau Mengapa Kita Wajib Jaga Hulu Budaya Minangkabau
Pameran Etnofotografi Edi Utama Ungkap Akar Spiritual dan Budaya Minangkabau Mengapa Kita Wajib Jaga Hulu Budaya Minangkabau – Dok. Humas

Salingka Media, Padang – Masyarakat Sumatera Barat kini memiliki ruang baru untuk menyelami akar spiritual dan historisnya. Sebuah perhelatan seni dan budaya yang dinilai berhasil membangkitkan memori kolektif resmi dibuka di Galeri Taman Budaya Sumbar. Pameran Etnofotografi tunggal karya seniman dan budayawan terkemuka, Edi Utama, yang bertajuk “Islam di Minangkabau: Surau dan Ritus di Sumatera Barat,” dibuka secara langsung oleh Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah, pada Jumat (24/10/2025).

Ajang ini bukanlah sekadar etalase benda-benda kuno atau kumpulan foto hitam putih semata. Lebih dari itu, pameran ini menawarkan sebuah perjalanan introspeksi untuk memahami dialog abadi antara adat dan syarak di Ranah Minang. Ia berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan nilai-nilai luhur para leluhur dengan kesadaran generasi masa kini. Pembukaan ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Asisten Administrasi Umum Medi Iswandi, Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Jefrinal Arifin, serta para pakar seperti Prof. Dr. Duski Samad, Prof. Dr. Ismail Novel, Dr. Buya Apria Putra, akademisi, seniman, dan budayawan daerah. Mereka semua sepakat bahwa memahami hulu budaya Minangkabau merupakan kunci untuk membangun ketahanan peradaban.

Melalui penelusuran naskah kuno, pakaian tradisional, perlengkapan ibadah, dan beragam simbol keagamaan, pengunjung diajak menyelami narasi historis yang memperlihatkan bagaimana Islam hadir di Minangkabau. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam datang bukan untuk menggantikan sistem adat yang sudah ada, melainkan untuk menyempurnakannya, melahirkan filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.”

Baca Juga :  Pengemudi Ojol Diam-diam Antarkan Baju Bekas

Gubernur Mahyeldi Ansharullah dalam sambutannya menegaskan pentingnya pameran ini sebagai momentum untuk merenung. “Pameran ini adalah ruang untuk merenung, memahami dari mana kita berasal, nilai apa yang kita warisi, dan ke mana arah peradaban ini akan kita bawa,” ujar Gubernur Mahyeldi. Beliau berharap warisan adat dan syarak yang ditampilkan tidak hanya menjadi kenangan masa lalu, tetapi hadir sebagai kekuatan moral, spiritual, dan budaya yang secara nyata menuntun pembangunan Sumatera Barat ke depan.

Apriasi tinggi disampaikan kepada Edi Utama sebagai penggagas sekaligus kurator utama. Gubernur menilai Edi berhasil “membangunkan kembali memori kultural dan spiritual masyarakat Minangkabau” melalui karyanya yang mendalam. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Dinas Kebudayaan dan semua pihak yang terlibat dalam menyukseskan acara budaya penting ini.

Dalam sesi diskusi, Edi Utama mengungkapkan pandangannya yang kritis tentang arah kebudayaan saat ini. Ia menggunakan metafora sungai untuk menjelaskan kebudayaan, yang memiliki hulu dan muara. Menurutnya, selama ini banyak pihak terlalu sibuk mengurus bagian hilir atau “muara” kebudayaan, seperti promosi ke luar daerah atau diplomasi budaya, namun melupakan pentingnya menjaga “hulu.”

“Kita sekarang terlalu sibuk mengurus muara memperkenalkan kebudayaan ke luar, tapi lupa menjaga hulunya. Padahal kalau air di muara keruh, masalahnya pasti di hulu,” tegas Edi.

Baginya, etnofotografi adalah sebuah cara autentik untuk kembali menelusuri akar dan spiritualitas Minangkabau yang sesungguhnya. Ia berpandangan bahwa strategi ketahanan budaya dan diplomasi budaya harus berjalan secara harmonis, tidak bisa hanya salah satunya. Edi juga menyoroti fenomena di mana banyak seniman membuat karya untuk kepentingan eksternal, namun melupakan esensi kebudayaan itu sendiri yang sejatinya harus hidup dan mengakar di dalam diri masyarakat.

Baca Juga :  Musfi Yendra Ketua Komisi Informasi Sumbar Lahirkan Tulisan Di Hari HBI Yang Berjudul "Buruh Dan Keterbukaan Informasi"

Lebih lanjut, Edi Utama menyinggung tentang nilai filosofis Silat Minangkabau. Ia menyayangkan persepsi publik yang menyempitkan silat hanya sebagai pertarungan fisik. “Silat itu bukan soal pertarungan, tapi jalan hidup. Benteng untuk mempertahankan kebudayaan,” jelasnya, menyoroti peran silat sebagai sistem pertahanan nilai luhur.

Edi berharap Dinas Kebudayaan dapat merumuskan strategi kebudayaan yang seimbang, yaitu menjaga hulu budaya Minangkabau sebagai bentuk ketahanan budaya internal, dan mengelola muara sebagai bentuk diplomasi budaya global.

Muhammad Taufik, selaku Ketua Panitia, memberikan pujian khusus atas karya Edi Utama yang ia nilai berhasil memotret konsep “Islam yang hidup” (Living Islam) di tengah masyarakat. Awalnya, Taufik sempat berpendapat judul pameran seharusnya adalah ‘Islam Minangkabau’, namun setelah melihat isi pameran, ia memahami bahwa Edi Utama tidak sekadar menampilkan foto, melainkan sebuah visualisasi perjalanan spiritual yang dinamis.

Taufik menjelaskan bahwa pameran ini dengan gamblang menggambarkan proses dialog antara Islam dan budaya Minangkabau. Kedua elemen ini terbukti saling menghidupi dan memperkaya, bukan saling meniadakan. “Nilai-nilai Islam dan adat tidak saling membunuh, tetapi saling memperkaya. Hukum adat di Minangkabau itu untuk menghidupkan, bukan mematikan,” kata Taufik.

Baca Juga :  Kapolresta Padang Raih 4 Penghargaan Dari Gubernur Sumatera Barat

Menurutnya, Edi Utama melaksanakan ‘dakwah’ melalui karya fotografi. Ia mengunjungi berbagai nagari, merekam kehidupan sehari-hari, dan menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam yang berdialog dengan adat masih kuat berakar di Ranah Minang. Edi Utama tidak berdakwah lewat mimbar, melainkan melalui lensa, menghadirkan kesaksian visual tentang keimanan dan tradisi yang menyatu.

Sebagai penutup, Taufik berharap pameran “Islam di Minangkabau: Surau dan Ritus” ini mampu menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk tidak melupakan dan terus menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang. Upaya yang dilakukan Edi Utama diharapkan menjadi semacam ‘dakwah’ yang membuka kesadaran dan jalan spiritual bagi seluruh masyarakat. Pameran ini adalah pengingat bahwa ketahanan sebuah peradaban sangat bergantung pada seberapa kuat dan jernih kita menjaga hulu, sumber, dan akar budaya serta spiritualitas kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *