Menguak Misteri Gelar “Sidi”: Kisah Bangsawan Egaliter Pariaman

Menguak Misteri Gelar Sidi Kisah Bangsawan Egaliter Pariaman

Salingka Media – Di tengah kekayaan adat istiadat Minangkabau, sidi di Pariaman menempati posisi yang unik dan menarik. Berbeda dengan sistem gelar pusako yang umum di dataran tinggi Minang—di mana gelar diwariskan dari mamak (paman) ke kemenakan—di Pariaman, gelar pusako justru berasal dari ayah. Perbedaan fundamental ini berakar pada sejarah panjang perjumpaan dua budaya yang membentuk identitas khas masyarakat pesisir Pariaman.

Kisah bermula ketika rombongan yang disebut Bani Ghasan mendarat di Bandar Tiku, sebuah wilayah yang berbatasan dengan Luhak Nan Tigo. Mereka mendirikan perkampungan dan menamakannya Kampung Ghasan, sebagai pengingat akan asal-usul mereka. Dalam rombongan ini, sosok Sidi nan Sabatang dan keluarganya dihormati layaknya raja. Penghormatan ini tak hanya datang dari Bani Ghasan, tetapi juga penduduk pribumi Pariaman dan pendatang dari dataran tinggi.

Panggilan “Ajo” dan Spirit Egaliter

Seiring waktu, keturunan Sidi nan Sabatang, baik yang bergelar Sidi maupun Bagindo, akrab disapa “Ajo”. Panggilan “Ajo” ini bukan sekadar sapaan biasa; ia adalah bentuk panggilan dari seorang adik kepada abang, atau kepada seseorang yang dihormati karena usia lebih tua. Selain Sidi dan Bagindo, para Sutan—kaum pengusaha dan pedagang terkemuka—juga turut dihormati dengan panggilan “Ajo”.

Baca Juga :  Naskah Kuno Padang Panjang Didigitalisasi, Ini Kendala dan Harapannya

Fenomena ini menunjukkan semangat egaliter yang kuat dalam masyarakat Pariaman. Berbeda dengan adat Minang pedalaman yang mungkin lebih menekankan hierarki, sidi di Pariaman justru memilih membaur dan berasimilasi. Gelar yang mereka sandang tidak serta-merta menjadikan mereka sombong atau merasa lebih tinggi dari masyarakat pribumi. Bahkan, perkawinan silang antara keturunan Sidi dan penduduk setempat menjadi hal yang lumrah, meskipun ada juga yang tetap mempertahankan tradisi pernikahan sekufu (siti untuk sidi).

Panggilan “Uda” juga memiliki tempatnya sendiri dalam struktur sosial Pariaman. Seseorang yang bergelar Marah umumnya dipanggil “Uda”. Menariknya, orang-orang dari dataran tinggi Minang juga dipanggil “Uda” oleh masyarakat Pariaman. Hal ini menunjukkan penghormatan terhadap mereka sebagai penduduk asli Tanah Minang atau Melayu Minangkabau, setara dengan penduduk yang lebih dulu ada di Pariaman saat rombongan Sidi Nan Sabatang mendarat.

Perpaduan Adat: Demokrasi vs. Feodalisme

Harmoni ini tidak lepas dari kearifan Bani Hasyim dalam menyikapi perbedaan adat istiadat dengan penduduk asli Melayu Minangkabau. Mereka mampu hidup berdampingan secara damai, meskipun memiliki sistem adat yang berbeda.

Pariaman, secara historis, lebih condong pada sistem pemerintahan desentralisasi Bodi Caniago yang digagas oleh Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Konsep “duduak sahamparan, tagak sapamatan” (duduk sehampar, berdiri sepermai) mencerminkan prinsip bahwa raja dan rakyat memiliki kedudukan yang setara di mata hukum—sebuah cerminan demokrasi awal. Ini berbanding terbalik dengan sistem sentralistik Koto Piliang yang dibangun oleh Datuk Katumanggungan, di mana “rajo ditantang, mato buto” (raja ditantang, mata buta) melambangkan kekuasaan absolut raja dan kewajiban rakyat untuk tunduk.

Baca Juga :  Marawa, Arti Dan Maknanya Mulai Di Tinggalkan

Dalam perkembangannya, terjadi perpaduan indah dari kedua sistem ini, melahirkan adagium “rajo alim rajo disambah, rajo zalim rajo dibantah.” Ini berarti, seorang penguasa yang adil akan dihormati dan didukung, sementara penguasa yang zalim wajib ditolak, bahkan digulingkan. Prinsip inilah yang masih dipegang teguh masyarakat Minangkabau hingga kini.

Penyebab Hilangnya Gelar “Sidi”

Uniknya, gelar Sidi di Pariaman memiliki perbedaan fundamental dengan gelar keturunan Rasulullah di wilayah Nusantara lainnya, terutama dalam hal keberlangsungan penyandang gelar. Gelar Sidi dapat hilang karena beberapa faktor, di antaranya:

  • Pernikahan: Gelar Sidi baru dilekatkan dan disandang ketika seorang keturunan Sidi telah menikah. Jika seorang Sidi tidak menikah hingga akhir hayat, ia tidak akan pernah dipanggil dengan gelar tersebut oleh keluarga pihak perempuan (menantu atau ipar).
  • Pernikahan Lintas Suku: Ketika keturunan Sidi menikah dengan orang yang tidak sebangsa (misalnya, perempuan Jawa atau suku lain di Nusantara), seringkali tidak ada panggilan “Sidi” dari pihak keluarga perempuan, baik ipar maupun mertua.
  • Pernikahan dengan Penduduk Luhak Nan Tigo: Jika seorang Sidi menikah dengan penduduk asli Minang dari Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota), terlepas dari gelar menantu (Sidi, Bagindo, Sutan, atau Marah), mereka akan tetap dipanggil “Sutan”.
  • Malunya Menyandang Gelar: Seorang yang bergelar Sidi terkadang merasa malu dipanggil Sidi jika sikap dan moralnya tidak terpuji.
  • Tidak Disandang Sejak Lahir: Penyebab paling mendasar hilangnya gelar Sidi adalah gelar tersebut tidak disandangkan pada nama anak keturunan sejak lahir. Ini berbeda jauh dengan turunan Alawi yang datang pada abad ke-8 hingga ke-16, di mana gelar tersebut selalu disematkan di depan nama anak sejak mereka lahir.

Tinggalkan Balasan