
Sejumlah dana fantastis hasil pengembalian kerugian negara dari kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya dipastikan akan kembali ke masyarakat. Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memastikan hasil penegakan hukum berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Dalam sebuah acara penting, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan apresiasi tinggi kepada Kejaksaan Agung atas keberhasilannya mengamankan uang pengganti kerugian negara mencapai Rp13,25 triliun. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potensi besar yang akan dikelola untuk keadilan ekonomi, menandai babak baru dalam pemanfaatan aset sitaan negara.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa nilai Rp13 triliun ini memiliki potensi signifikan jika dimanfaatkan secara optimal. Dalam sambutannya di Gedung Utama Kompleks Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Senin (20/10/2025), Kepala Negara memaparkan ilustrasi penggunaan dana tersebut yang akan menyentuh langsung kehidupan masyarakat di akar rumput. “Rp13 triliun ini kita bisa memperbaiki, merenovasi 8.000 lebih sekolah. Bayangkan, jika kita alokasikan untuk satu kampung nelayan, dengan anggaran Rp22 miliar, kita bisa membangun kampung yang memiliki fasilitas modern,” jelas Presiden.
Alokasi dana ini menjadi titik terang bagi pembangunan yang selama ini terabaikan. Pemerintah menetapkan pembangunan dan perbaikan desa nelayan sebagai salah satu prioritas utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir. Dana yang berhasil dikembalikan dari kasus korupsi ini diperkirakan mampu mendanai pembangunan 600 desa nelayan baru, yang masing-masing membutuhkan anggaran sekitar Rp22 miliar. Target besar pemerintah adalah mendirikan 1.100 desa nelayan berfasilitas modern hingga akhir tahun 2026, dan dana hasil penegakan hukum ini akan sangat mendukung percepatan proyek tersebut.
Lebih lanjut, Presiden Prabowo menegaskan bahwa tindak pidana korupsi yang menyasar sektor sumber daya alam merupakan bentuk pengkhianatan terhadap bangsa. Pengembalian uang negara ini hanyalah bagian kecil dari tugas besar yang harus dituntaskan, yakni memberantas berbagai praktik ilegal lainnya yang merugikan negara triliunan rupiah.
Kepala Negara mencontohkan keberhasilan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan, yang dibantu oleh TNI, Kejaksaan, Polisi, dan Bea Cukai, dalam menghentikan penyelundupan timah dan turunannya dari Bangka Belitung. Praktik ilegal yang telah berjalan hampir dua dekade ini diperkirakan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp40 triliun per tahun. Praktik curang seperti penambangan tanpa izin, under invoicing, over invoicing, dan miss invoicing merupakan bentuk penipuan yang dilakukan kepada negara yang telah memberikan berbagai fasilitas dan izin usaha dengan itikad baik. Presiden memperkirakan, kerugian dari praktik ilegal ini dapat mencapai angka konservatif Rp20 triliun per tahun, bahkan studi lembaga internasional mengestimasi kerugiannya sekitar 3 miliar dolar per tahun. Dengan kata lain, total kerugian selama 20 tahun terakhir dari penyimpangan tersebut bisa mencapai ratusan triliun rupiah.
Keberhasilan penyerahan uang pengganti kerugian negara senilai Rp13,25 triliun ini memberikan pesan kuat bahwa pemerintah serius dalam menindak tegas korupsi dan memastikan uang hasil kejahatan dikembalikan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Alokasi dana untuk merenovasi ribuan sekolah dan membangun ratusan desa nelayan modern menunjukkan komitmen konkret bahwa penegakan hukum bukan sekadar formalitas, melainkan alat untuk mencapai keadilan sosial dan pemerataan pembangunan. Langkah ini sekaligus menjadi peringatan bagi pelaku kejahatan sumber daya alam bahwa ruang gerak mereka akan semakin sempit di tengah pengawasan masif dan komitmen kuat pemerintah untuk melindungi kekayaan alam Indonesia.





