Kerusakan Hulu DAS, WALHI Sebut Banjir Sumbar Bencana Ekologis, Bukan Alam Murni

Kerusakan Hulu DAS Picu Bencana Ekologis Sumbar: 780 Hektare Hutan Aia Dingin Hilang

Kerusakan Hulu DAS, WALHI Sebut Banjir Sumbar Bencana Ekologis, Bukan Alam Murni
Sudah tiga hari batang-batang kayu besar terhempas ke garis pantai usai banjir bandang dan longsor mematikan menerjang Padang, Sumatera Barat, pada Minggu (30/11/2025). Foto: kumparancom

Salingka Media – Rentetan bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 telah menimbulkan duka mendalam bagi bangsa. Data per 1 Desember 2025 menunjukkan angka yang mengerikan: 442 jiwa meninggal, 402 orang masih dinyatakan hilang, dan 156.918 jiwa terpaksa mengungsi di ketiga provinsi tersebut.

Namun, bagi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), tragedi ini bukanlah sekadar musibah yang disebabkan oleh fenomena alam semata. Organisasi ini secara tegas menyebut rangkaian peristiwa ini sebagai bencana ekologis. Hal ini merupakan dampak akumulatif dari kerusakan lingkungan yang masif, krisis iklim, dan diperparah oleh kebijakan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang cenderung permisif terhadap investasi ekstraktif. Oleh karena itu, krisis di Sumatera ini menjadi sorotan tajam bagi pegiat lingkungan.

Di Sumatera Barat, WALHI secara spesifik menyoroti kondisi kritis pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Aia Dingin yang berlokasi di Kota Padang. Temuan WALHI sangat mengkhawatirkan: sepanjang tahun 2001 hingga 2024, DAS seluas 12.802 hektare ini telah kehilangan 780 hektare tutupan pohon. Lokasi deforestasi ini mayoritas terjadi di wilayah hulu DAS, sebuah area yang seharusnya berfungsi sebagai benteng alami untuk menahan limpasan air dan mencegah terjadinya banjir bandang yang merusak. Kehilangan tutupan pohon ini secara langsung memperburuk risiko bencana di hilir, menjadikan kerusakan hulu DAS sebagai pemicu utama.

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Barat, Andre Bustamar, menyatakan bahwa bencana di wilayahnya merupakan hasil dari akumulasi krisis lingkungan yang parah, yang disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam mengelola SDA secara berkelanjutan.

Baca Juga :  Cuaca Ekstrem BMKG Bukan Badai, Potensi Cuaca di Jabodetabek Begini Menurut BMKG

“Deforestasi, pertambangan emas ilegal, serta lemahnya penegakan hukum menjadi serangkaian faktor krusial mengapa Sumatera Barat terus-menerus didera bencana ekologis,” tegas Andre Bustamar, sebagaimana dikutip dari rilis WALHI pada Senin (1/12/2025).

Andre juga menggarisbawahi indikasi aktivitas penebangan ilegal dengan menunjuk pada fenomena kayu gelondongan dan tunggul-tunggul yang hanyut terbawa derasnya arus sungai. “Ini memperkuat dugaan bahwa praktik eksploitasi hutan masih berlangsung di kawasan hulu DAS dan menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko bencana,” imbuhnya, menekankan betapa seriusnya dampak dari kerusakan hulu DAS.

Situasi serupa juga terpantau di provinsi lain. Di Aceh, WALHI mencatat bahwa dari total 954 DAS, 20 di antaranya kini berstatus kritis. Degradasi tutupan hutan yang signifikan (antara 36% hingga 75%) terjadi di beberapa DAS besar, termasuk Krueng Trumon, Singkil, Peusangan, Tripa, dan Tamiang.

Sementara itu, di Sumatera Utara, wilayah yang paling terdampak krisis adalah lanskap Batang Toru, yang juga dikenal sebagai Harangan Tapanuli. Area ini mengalami deforestasi seluas 72.938 hektare antara tahun 2016 hingga 2024. Kerusakan ini tak lepas dari operasi 18 perusahaan yang bergerak di berbagai sektor.

Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Solihin, menyampaikan bahwa bencana ini bukan hanya fenomena alam, melainkan “bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi ekstraktif.” Ia juga mengkritik respons negara yang dinilai lebih fokus pada penanganan di hilir, seperti normalisasi sungai, sementara gagal menghentikan kerusakan di hulu yang menjadi akar masalah.

Baca Juga :  Pemkab Pasaman Barat Gelar Tabligh Akbar dan Dakwah Wisata BKMT se-Sumbar

Dari Sumatera Utara, Riandra Purba, Direktur Eksekutif WALHI setempat, menyebut Batang Toru sebagai episentrum krisis. Ia mencontohkan model pengelolaan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang dinilai merusak badan-badan sungai dan memutus habitat satwa penting seperti orang utan dan harimau, diperparah dengan pertambangan emas dan alih fungsi hutan untuk perkebunan kayu.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin perusahaan yang beroperasi di wilayah rawan bencana.

“Penyebab bencana ekologis saat ini adalah pengurus negara dan korporasi. Maka tanggung jawab negara adalah mengevaluasi seluruh izin perusahaan. Jika harus dicabut, ya cabut,” tegasnya. Selain itu, ia juga menuntut negara menagih biaya eksternalitas dan bertanggung jawab memulihkan ekosistem yang telah rusak.

Direktur WALHI Yogyakarta, Gandar Mahojwala, menyoroti kegagalan pemerintah dalam merespons peringatan dini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mendeteksi Pusat Tekanan Rendah sejak 17 November dan Bibit Siklon pada 21 November. “Peringatan dini sudah ada, namun tidak direspons serius oleh pemerintah,” ujarnya. Gandar juga mempertegas pandangan WALHI bahwa “tidak ada yang namanya bencana alam; kerentanan dibentuk oleh aktivitas perusahaan.”

WALHI mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Analisis Risiko Bencana (ARB) sesuai UU No. 24/2007. Pengesahan ARB ini penting agar setiap proyek berisiko tinggi diwajibkan melakukan kajian mendalam tentang dampaknya sebelum proyek tersebut berjalan.

Baca Juga :  Warga Lima Puluh Kota Tewas Tersengat Listrik Saat Dirikan Tenda Pelaminan, Tim SAR Lakukan Evakuasi

Dampak dari bencana ekologis ini telah melumpuhkan segala pranata kehidupan masyarakat. Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Ekologis WALHI Nasional, Melva Harahap, memaparkan bahwa masyarakat tidak hanya kehilangan rumah dan keluarga, tetapi juga kebun dan rasa aman. “Infrastruktur rusak, listrik mati, sinyal terputus, BBM langka, bahan pangan menipis,” jelasnya.

Oleh karena itu, WALHI mendorong pemerintah untuk segera menetapkan status bencana nasional. Langkah ini dianggap krusial untuk mempercepat koordinasi lintas kementerian dan lembaga dalam penanganan darurat. Namun, Melva mengingatkan, pelabelan sebagai “bencana alam” tidak boleh digunakan untuk menggugurkan pertanggungjawaban korporasi dan negara atas kerusakan hulu DAS dan ekosistem lain yang menjadi akar penyebab tragedi ini. Solusi jangka panjang harus berakar pada pemulihan ekosistem dan penegakan hukum yang tegas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *