LPSK Buka Suara: Ribuan Korban Keracunan MBG Berhak Tuntut Restitusi, Tapi Ada Syarat KRUSIAL

Syarat Penting Restitusi: Langkah Hukum Penentu Nasib Ribuan Korban Keracunan MBG

LPSK Buka Suara Ribuan Korban Keracunan MBG Berhak Tuntut Restitusi, Tapi Ada Syarat KRUSIAL
Wakil Ketua LPSK Susilaningtias. – LPSK Buka Suara Ribuan Korban Keracunan MBG Berhak Tuntut Restitusi, Tapi Ada Syarat KRUSIAL – Foto Via dirgantaraonline

Salingka Media – Tragedi keracunan massal yang menimpa 6.457 anak dalam program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) telah mengguncang kepercayaan publik dan menempatkan pemerintah pada posisi sulit. Di tengah kegelisahan ribuan keluarga yang anaknya terdampak, muncul secercah harapan terkait kompensasi dan pemulihan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) secara resmi menyatakan bahwa para korban memiliki peluang besar untuk mengajukan ganti rugi atau restitusi LPSK, namun dengan satu syarat yang sangat penting: kasus ini harus diangkat ke ranah pidana terlebih dahulu.

Pernyataan ini bukan sekadar janji, melainkan sebuah penegasan hak-hak korban yang dijamin undang-undang. Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, memastikan kesiapan lembaganya untuk memberikan perlindungan dan pendampingan hukum penuh, asalkan ditemukan bukti adanya unsur pidana di balik insiden massal tersebut. “Kalau ada tindak pidananya, dibawa ke ranah pidana, maka korban keracunan MBG bisa mengajukan restitusi,” ujar Susilaningtias saat ditemui di Kantor LPSK, pada Sabtu (4/10/2025).

Dalam konteks kasus keracunan ini, hak korban melampaui sekadar ganti rugi materiil. Susilaningtias menjelaskan lebih lanjut bahwa di banyak insiden serupa yang ditangani LPSK, bantuan yang disalurkan juga mencakup biaya pengobatan hingga pemulihan psikologis bagi anak-anak dan keluarga yang terdampak. Hal ini krusial mengingat trauma yang mungkin ditimbulkan oleh keracunan.

Baca Juga :  Berantas Judi Online, Polsek Tegowanu Gelar Razia Internal

“Mungkin bantuan biaya pengobatan misalnya, atau pemulihan psikologis, karena itu hak korban. Tapi harus ada tindak pidana dulu,” tegasnya. Inilah yang menjadi titik penghubung krusial. Selama insiden keracunan MBG masih berkutat di level administratif atau penyelidikan tanpa penetapan sebagai tindak pidana, LPSK belum dapat memproses permohonan restitusi.

Dengan demikian, nasib pengajuan restitusi LPSK bagi ribuan keluarga korban saat ini sepenuhnya berada di tangan aparat penegak hukum yang bertugas mengusut kasus ini. Apakah insiden ini murni kelalaian, ataukah terdapat unsur kesengajaan, manipulasi, atau kelalaian berat yang masuk dalam kategori pidana? Jawaban atas pertanyaan ini akan membuka jalan bagi ribuan korban untuk mendapatkan hak mereka.

Meskipun demikian, LPSK membuka diri selebar-lebarnya. Lembaga ini mempersilakan laporan atau permohonan pengaduan dari masyarakat, baik korban langsung maupun pihak keluarga. “Kami terbuka menerima pengaduan atau permohonan. Setelah itu akan kami telaah lebih lanjut. Syarat utamanya, satu, kasus ini memang ada tindak pidana yang diungkap; dan dua, memang benar-benar korban,” jelas Susilaningtias.

Kasus keracunan yang menyasar program Makan Bergizi Gratis (MBG) ini menjadi sorotan serius di tingkat nasional. Data dari Badan Gizi Nasional (BGN) mengungkapkan skala tragedi ini, di mana sebanyak 6.457 anak di berbagai wilayah Indonesia mengalami gejala keracunan. Angka ini bukan sekadar statistik dingin, melainkan refleksi dari ribuan anak yang harus mendapatkan perawatan medis dan ribuan orang tua yang diliputi kecemasan.

Baca Juga :  Narapidana Kabur di Lampung: Polisi Sukses Melakukan Penangkapan

Kepala BGN, Dadan Hindayana, memaparkan rincian sebaran korban dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Senayan, Jakarta, pada Rabu (1/10/2025). Data tersebut merinci bahwa wilayah Pulau Jawa menjadi area dengan dampak terparah, mencapai 4.147 anak terdampak, ditambah 60 kasus baru di Garut. Sementara itu, 1.307 anak mengalami gangguan pencernaan di Wilayah I (Sumatera), dan 1.003 anak di Wilayah III (Indonesia Timur) juga dilaporkan mengalami gejala serupa. “Jadi totalnya mencapai 6.457 anak yang mengalami keracunan dalam program MBG ini,” ungkap Dadan.

Program yang awalnya diluncurkan untuk mengatasi isu kekurangan gizi anak dan memperkuat ketahanan pangan kini justru menghasilkan krisis kepercayaan. Tragedi ini memicu pertanyaan besar mengenai akuntabilitas dan sistem pengawasan kualitas bahan pangan. Para orang tua menuntut kejelasan tentang siapa yang harus bertanggung jawab: apakah ada kelalaian dari pihak penyedia makanan, ataukah sistem pengawasan yang diterapkan oleh pemerintah memang lemah?

Baca Juga :  Presiden Jokowi Hadiri Apel Kesiapan Pengamanan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2024 di Mako Brimob Polri

Penentuan apakah kasus ini akan diproses sebagai kelalaian administrasi atau tindak pidana menjadi penentu utama dalam nasib ribuan korban yang menuntut keadilan. Jika aparat penegak hukum berhasil menemukan bukti kuat adanya pelanggaran pidana, seperti kelalaian berat, kesengajaan, atau bahkan manipulasi dalam proses pengadaan bahan makanan, maka hak-hak korban akan terlindungi secara hukum.

Dalam skenario tersebut, korban tidak hanya akan menerima ganti rugi, tetapi juga mendapatkan pemulihan penuh serta perlindungan hukum dari LPSK. “Begitu ada unsur pidana, kami akan turun mendampingi korban. Prinsip kami jelas—korban tidak boleh dibiarkan sendiri,” pungkas Susilaningtias.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *