
Salingka Media – Kota Padang kembali menjadi sorotan. Bukan karena keindahan alam atau kulinernya yang mendunia, melainkan karena laporan mengejutkan tentang intensitas bencana yang melanda. Sepanjang tahun 2024, setidaknya 711 kejadian bencana tercatat di kota yang terletak di pesisir barat Sumatra ini. Data yang dirilis oleh Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD Kota Padang ini menjadi pengingat yang kuat, bahwa kesiapsiagaan bencana bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak bagi setiap warga.
Berbagai jenis insiden alam terjadi dengan frekuensi yang mengkhawatirkan. Mulai dari 349 kasus pohon tumbang yang seringkali menghambat mobilitas, hingga 19 nyawa yang melayang akibat hanyut. Banjir melanda 29 lokasi, longsor terjadi di 22 titik, dan angin puting beliung tercatat 6 kali. Yang paling signifikan, guncangan gempa bumi dirasakan sebanyak 254 kali, mengisyaratkan aktivitas tektonik yang tak kenal lelah. Di sisi lain, ancaman non-geologis juga hadir, dengan satu kasus kebakaran hutan dan 26 kasus kekeringan yang menciptakan tantangan bagi warga. Data ini menunjukkan kompleksitas dan kerentanan Kota Padang, menuntut strategi yang matang untuk menghadapi berbagai potensi ancaman.
Dalam sebuah acara Sosialisasi Pengelolaan Arsip bagi Masyarakat Tangguh Bencana yang diadakan di Padang, perwakilan BPBD, Rifqi Arif, kembali menekankan esensi dari kesiapsiagaan bencana. Menurutnya, mitigasi dan respons terhadap bencana tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah atau tim penyelamat profesional. Masyarakat harus mengambil peran aktif. Rifqi mencontohkan hasil survei pasca-Gempa Kobe 1995 di Jepang. Studi tersebut menunjukkan fakta yang mencengangkan: 95 persen korban selamat berhasil dievakuasi berkat bantuan keluarga, tetangga, atau bahkan upaya penyelamatan diri sendiri. Fenomena ini menunjukkan keterbatasan tim penyelamat yang kerap kesulitan menjangkau lokasi terdampak dalam waktu cepat. Keterampilan dan kesiapan individu, keluarga, dan komunitas, menjadi faktor penentu antara hidup dan mati.
Tak hanya merujuk pada contoh global, Rifqi juga menyoroti kearifan lokal yang telah teruji. Ia menyebutkan istilah smong yang digunakan oleh masyarakat Pulau Simeulue, Aceh, untuk menyebut tsunami. Pengetahuan ini diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita dan nyanyian. Hasilnya, saat tsunami meluluhlantakkan Aceh pada tahun 2004, ribuan nyawa di Simeulue berhasil diselamatkan karena mereka mengenali tanda-tanda dan segera melakukan evakuasi mandiri ke tempat yang lebih tinggi. Kisah ini adalah bukti nyata bahwa edukasi dan kesiapsiagaan bencana yang ditanamkan sejak dini bisa menjadi perisai paling efektif.
Menghadapi kenyataan bahwa bencana tidak bisa diprediksi, Rifqi menekankan pentingnya langkah antisipasi. Setiap keluarga disarankan untuk membuat rencana evakuasi yang jelas, baik saat di rumah maupun di luar rumah. Rencana ini harus mencakup jalur evakuasi, titik kumpul, dan peran masing-masing anggota keluarga. Selain itu, ada satu instrumen penting yang wajib disiapkan: tas siaga bencana (tas sibad). Tas ini harus berisi perlengkapan esensial, seperti makanan instan, dokumen penting yang telah disalin dan dilaminasi, pakaian ganti, perlengkapan mandi, alat penerangan, dan radio kecil. Kehadiran radio menjadi krusial karena seringkali jaringan komunikasi utama terputus pasca-bencana.
Kesiapsiagaan, pada intinya, adalah investasi diri. Ini tentang membangun kesadaran kolektif bahwa kita semua adalah garda terdepan dalam menghadapi ancaman. Data 711 bencana di Padang bukan sekadar statistik, melainkan panggilan untuk bertindak. Dengan menerapkan strategi mitigasi, mempersiapkan tas siaga, dan merencanakan evakuasi, kita tidak hanya melindungi diri sendiri dan keluarga, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih tangguh. Membangun budaya kesiapsiagaan bencana sejak dini adalah jalan terbaik untuk mengurangi risiko, meminimalkan kerugian, dan memastikan kita bisa bangkit lebih cepat saat bencana benar-benar datang. Dengan demikian, Padang bukan hanya kota yang rawan bencana, tetapi juga kota yang siap dan tangguh dalam menghadapinya.