
Salingka Media – Jakarta, 29 April 2025 – Dalam suasana sidang yang sarat emosi dan tekanan batin, hakim nonaktif Pengadilan Negeri Surabaya, Heru Hanindyo, akhirnya buka suara. Ia berdiri di hadapan majelis hakim Tipikor Jakarta Pusat, bukan untuk menjatuhkan vonis, melainkan membacakan pembelaan pribadi yang ia susun sendiri—dengan tinta kepedihan dan kertas penuh rasa dikhianati.
Heru bukan hanya membantah semua tuduhan soal suap. Ia merasa nama baiknya digadaikan dalam permainan yang tak ia mainkan. “Saya tidak bersalah,” katanya pelan tapi tegas. “Saya mohon dibebaskan, dan nama saya dipulihkan.”
Satu per satu, ia bongkar apa yang menurutnya adalah manipulasi. Dari tuduhan menerima uang SGD 36 ribu—yang katanya bahkan tak pernah ditemukan saat penggeledahan rumah—sampai pertemuan-pertemuan rahasia yang katanya terjadi tanpa sepengetahuannya. Ia bahkan menyebut namanya dipakai seenaknya oleh sesama hakim, Erintuah Damanik.
Dan ya, Erintuah… Heru tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dari sidang terungkap, nama Heru disebut-sebut dalam konteks yang menurutnya tak pernah ia lakukan. “Nama saya dijual,” katanya getir. Bukan cuma dijual, Heru menyebut Erintuah juga sempat mencoba bunuh diri di tahanan. Ironisnya, Heru lah yang kemudian menyelamatkan nyawa koleganya itu, saat tubuh Erintuah nyaris menggantung dengan leher terjerat tali.
“Saya tidak pernah terlibat. Tidak dalam pertemuan, tidak dalam pembagian uang. Dan tidak ada uang yang ditemukan di rumah saya,” lanjutnya. Kalimatnya mengalir antara tangis tertahan dan kemarahan yang ditahan rapi.
Dalam pleidoi yang ia tulis sendiri, Heru juga menyebut bahwa ia tak punya kepentingan apa pun terhadap perkara pidana yang menyeret Ronald Tannur. Bahkan, katanya, ia sempat diganti dari susunan majelis hakim dan tak terlibat langsung dalam banyak dinamika di balik layar.
Ia juga keberatan karena penyidik, katanya, tidak menghadirkan Lisa Rachmat—tokoh kunci yang disebut-sebut sebagai penghubung suap—untuk dikonfrontasi secara langsung dalam proses penyidikan. Padahal, Heru sudah meminta itu sejak awal, tapi tak digubris.
“Bagaimana saya bisa membela diri dengan utuh jika keterangan yang dijadikan dasar tuduhan tidak pernah saya konfrontasi langsung?” tanyanya, kecewa.
Yang membuat sidang semakin dramatis adalah pengakuan Heru soal momen emosional ketika melihat catatan di HP Lisa Rachmat. Catatan yang katanya personal, namun dijadikan alat bukti. “Itu bukan bukti nyata, tak ada transaksi langsung ke saya,” katanya.
Untuk konteks, Heru Hanindyo adalah satu dari tiga hakim PN Surabaya yang disebut menerima suap senilai total Rp 3,6 miliar demi memuluskan vonis bebas untuk Ronald Tannur, terdakwa dalam kasus kematian Dini Sera Afrianti. Dalam dakwaan jaksa, uang suap tersebut diberikan lewat perantara pengacara Lisa Rachmat, atas permintaan Meirizka Widjaja—ibu dari Ronald Tannur.
Ronald sendiri kini sudah divonis 5 tahun penjara setelah Mahkamah Agung mengabulkan kasasi jaksa. Tapi bayang-bayang suap dan drama sidang tampaknya masih akan panjang.
Heru menutup pleidoinya dengan permohonan menyentuh. Ia minta majelis hakim mengembalikan haknya sebagai warga negara yang terzalimi. “Saya menulis ini dalam keadaan sangat sulit… bukan hanya fisik, tapi batin dan jiwa,” tutupnya dengan suara yang sempat bergetar.