Indeks

Pesawat Boeing 737 MAX Kembali ke AS di Tengah Perang Tarif AS-China, Xiamen Airlines Gagal Terima Pengiriman

 

Dok. Liputan6

Salingka Media – Satu unit pesawat Boeing 737 MAX yang seharusnya segera memperkuat armada Xiamen Airlines China, harus kembali ke titik awal produksinya di Amerika Serikat, akibat meningkatnya tensi perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia.

Tarif Impor Melonjak, Pengiriman Pesawat Dibatalkan

Dalam konflik dagang yang dipicu kebijakan Presiden Donald Trump, Amerika Serikat baru saja menaikkan tarif impor dasar untuk produk China menjadi 145%. China pun tak tinggal diam, membalas dengan menetapkan tarif 125% untuk barang-barang dari AS. Kondisi ini berdampak serius pada industri dirgantara, termasuk dalam pengiriman pesawat komersial.

Bagi maskapai penerbangan asal China seperti Xiamen Airlines, menerima pesawat produksi AS kini berarti harus menanggung beban tarif tambahan yang sangat besar. Dengan harga pasar satu unit Boeing 737 MAX mencapai sekitar US$55 juta, beban tarif dapat merugikan secara signifikan.

Perjalanan Pulang Ribuan Kilometer

Pesawat yang tetap mempertahankan corak atau livery khas Xiamen Airlines ini tercatat mendarat di Boeing Field, Seattle pada Minggu (20/4/2025) pukul 18.11 waktu setempat. Selama perjalanan kembali sejauh 8.000 km dari pusat akhir perakitan Boeing di Zhoushan, China, pesawat tersebut sempat melakukan pengisian bahan bakar di Guam dan Hawaii.

Belum diketahui secara pasti siapa yang mengambil keputusan untuk memulangkan pesawat ini—apakah Boeing, Xiamen Airlines, atau intervensi dari otoritas terkait. Hingga berita ini diturunkan, kedua pihak belum memberikan pernyataan resmi.

Gangguan dalam Rantai Pasok Dirgantara Global

Boeing 737 MAX merupakan model andalan perusahaan tersebut, dan pengembalian unit ini ke AS menandai gangguan terbaru dalam distribusi global pesawat komersial. Dalam beberapa tahun terakhir, industri penerbangan sudah lebih dulu diguncang pembekuan impor selama hampir lima tahun dan ketegangan politik yang menyertai.

Kondisi perdagangan yang tidak stabil ini juga menimbulkan ketidakpastian di kalangan maskapai. Beberapa CEO mengaku lebih memilih menunda pengiriman daripada harus membayar bea tinggi yang tidak masuk akal. Analis menyebut, perubahan kebijakan tarif yang tiba-tiba seperti ini menjadi momok tersendiri bagi rantai pasok global yang selama ini bergantung pada status bebas bea.

Konflik perdagangan antara AS dan China kini merambah ke ranah dirgantara. Ketika tarif menjadi alat diplomasi, dunia usaha—terutama sektor strategis seperti penerbangan—menanggung risiko dan kerugian. Boeing dan maskapai global lainnya kini menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas bisnis dan kelancaran distribusi produk mereka di pasar internasional.

Exit mobile version