
Salingka Media – Kalau bicara tentang siapa yang benar-benar jadi korban di tengah bara konflik Asia Selatan, Menteri Pertahanan Pakistan, Khawaja Asif, punya jawaban lugas: “Kami.”
Dalam sebuah wawancara eksklusif bersama RT pada Sabtu (26/4), Asif tanpa ragu menyebut bahwa negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, bertanggung jawab atas lahirnya terorisme di kawasan mereka.
Asif dengan nada getir mengenang bagaimana Pakistan, di akhir 1980-an, terseret dalam perang Soviet-Afghanistan. Bukan perang kami, katanya, tapi kami dipaksa berdiri di garis depan. “Kami dijadikan batu loncatan,” ucapnya, merujuk pada keterlibatan negaranya dalam mendukung operasi jihad yang, ironisnya, justru didesain oleh Barat.
Tidak berhenti di situ. Saat dunia bergetar akibat serangan 9/11, Pakistan kembali dipanggil. Lagi-lagi, tanah air mereka digunakan untuk melayani kepentingan asing. “Segala macam perbekalan, fasilitas, semua berasal dari tanah kami,” tambah Asif.
Namun setelah kepentingan selesai? Pakistan ditinggalkan begitu saja, seakan-akan mereka hanya pion di papan catur geopolitik.
“Saya ingin menegaskan, dua perang besar itu—perang Soviet-Afghanistan dan perang pasca 9/11—bukanlah perang kami. Tapi kami yang memikul bebannya sampai hari ini,” ujarnya sambil menahan emosi. Menurut Asif, Amerika Serikat dengan santainya pergi begitu saja di akhir tahun 80-an, meninggalkan Pakistan dalam kekacauan.
Bicara soal Afghanistan, Asif juga mengungkapkan kekhawatiran mendalam soal komunitas Pashtun yang terpecah antara Pakistan dan Afghanistan. Ditambah lagi, sekitar 6 juta warga Afghanistan tanpa dokumen tinggal di Pakistan, menciptakan bom waktu sosial yang pemerintahannya harus hadapi sendirian. “Tidak ada satu pun yang mau bertanggung jawab atas semua ini,” keluhnya.
Dalam wawancara yang berbeda bersama Sky News, Asif mengakui bahwa, pada satu masa, Pakistan memang mendukung kelompok-kelompok tertentu atas nama Barat. Tapi sekarang, katanya, mereka jadi kambing hitam.
“Target utama terorisme di kawasan ini adalah Pakistan. Tapi lihatlah, India malah sibuk menuding kami atas insiden yang tidak ada hubungannya dengan kami,” tegas Asif, merujuk pada serangan teroris di Kashmir Selatan yang menewaskan 26 turis India pekan ini.
Ketegangan di antara dua negara bertetangga itu semakin memuncak. New Delhi mengambil langkah ekstrem: mengusir diplomat Pakistan, membatalkan visa warga Pakistan, dan menutup perbatasan darat. Lebih jauh lagi, India juga menangguhkan Perjanjian Perairan Indus 1960—sebuah keputusan yang bisa membawa konsekuensi serius.
Pakistan tentu saja tak tinggal diam. Peringatan keras dilontarkan. “Kalau mereka berani menyentuh sungai, itu akan kami anggap sebagai tindakan perang,” kata pejabat Pakistan dengan nada tajam.
Situasi di Asia Selatan, yang sudah lama rapuh, kini kian memanas. Dan di tengah semua kekacauan ini, suara Khawaja Asif menggema:
“Kami, rakyat Pakistan, hanya ingin damai. Tapi dunia telah memilih menjadikan kami medan tempur.”