Indeks

Maroko: Idul Adha Tanpa Kurban, Keputusan Raja di Tengah Krisis Kekeringan

Maroko Idul Adha Tanpa Kurban, Keputusan Raja di Tengah Krisis Kekeringan
Foto: Ilustrasi kurban di Maroko. (Moroccan Royal Palace via AP) Via cnbcindonesia

Salingka Media – Pada hari Sabtu, 7 Juni 2025, suasana Idul Adha di Maroko tampak berbeda dari biasanya. Jika di banyak negara mayoritas Muslim gema takbir diiringi suara hewan kurban, di Maroko perayaan agung ini justru berlangsung tanpa tradisi penyembelihan. Sebuah keputusan kerajaan yang langka, namun bukan tanpa preseden, menjadi alasan di balik absennya ritual kurban tahun ini.

Keputusan krusial ini datang langsung dari Raja Mohammed VI pada Februari lalu. Sang Raja mendesak warganya untuk tidak menyembelih domba dan mempersembahkan kurban sebagai bentuk pengorbanan di hari raya. Alasan utamanya adalah kekeringan berkepanjangan yang melanda Maroko, menyebabkan populasi ternak mengalami penurunan drastis. Meskipun demikian, semangat Idul Adha tak luntur, ribuan warga Maroko tetap membanjiri jalanan untuk melaksanakan salat Idul Adha pada pagi hari.

Intervensi kerajaan semacam ini, meski jarang, pernah terjadi di masa lalu. Mendiang Raja Hassan II, ayah Raja Mohammed VI, diketahui pernah menangguhkan ritual kurban Idul Adha sebanyak tiga kali selama masa pemerintahannya. Kala itu, penangguhan dilakukan karena berbagai faktor, mulai dari perang, kekeringan parah, hingga tekanan IMF yang mengharuskan Maroko untuk mencabut subsidi pangan, memaksa negara tersebut untuk melakukan penghematan.

“Ini adalah keputusan yang sulit, dibuat untuk melindungi ternak nasional, tetapi telah berdampak parah pada petani,” ungkap Mourad Soussi, seorang penggembala di Azrou, sebuah kota kecil di Maroko bagian tengah, seperti dikutip dari The New Arab. Bagi petani kecil dan peternak subsisten, ternak adalah tumpuan utama pendapatan. Organisasi nirlaba lokal Nechfate menyebutkan bahwa sekitar 35% keluarga petani di Maroko sangat bergantung pada penggembalaan hewan sebagai sumber penghasilan utama mereka. “Bagi mereka, ternak seperti asuransi,” kata Nechfate, “Mereka menjual hewan ketika mereka membutuhkan uang tunai.”

Namun, enam tahun kekeringan berturut-turut telah menghantam sektor pertanian secara telak. Banyak keluarga terpaksa menjual ternak mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, populasi ternak nasional Maroko menyusut hingga mencapai level yang tidak terlihat sejak tahun 1970-an, di mana saat itu populasi Maroko hanya sekitar setengah dari jumlah penduduknya saat ini yang mencapai 37 juta jiwa.

Larangan kurban diharapkan dapat mendorong keberlanjutan jangka panjang sektor peternakan di Maroko, namun dampaknya terhadap ekonomi jangka pendek sangatlah signifikan. Pemerintah setempat telah menutup pasar ternak mingguan dan kios-kios dadakan yang biasanya ramai menjelang Idul Adha. Di Rabat, Kementerian Dalam Negeri bahkan menangguhkan semua perdagangan ternak musiman dan melarang penjualan perlengkapan terkait. Kebijakan ini tentu saja memukul para perajin dan pekerja informal yang sangat bergantung pada hiruk pikuk ekonomi Idul Fitri.

“Kami sudah berjuang dengan tingginya biaya pakan ternak, yang telah kami investasikan secara besar-besaran,” tambah petani dari Azrou tersebut. “Ini telah membebani modal kami. Saya memperkirakan kerugian kami sekitar 50%. Belum lagi kerja keras selama delapan hingga dua belas bulan untuk memelihara dan mempersiapkan ternak untuk Idul Fitri. Kami mendesak Kementerian Pertanian untuk memberikan dukungan finansial dan moral.” Suara-suara seperti ini merefleksikan tantangan besar yang dihadapi petani dan peternak di Maroko, di tengah upaya menjaga keseimbangan antara tradisi, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan rakyat.

Exit mobile version