
Salingka Media – Wacana pengiriman siswa yang bermasalah ke barak militer kembali menuai kritik. Kali ini, suara penolakan datang dari Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, yang menyayangkan pendekatan militeristik dalam menyelesaikan persoalan pendidikan karakter siswa.
Menurut Bonnie, tidak semua permasalahan remaja dapat diselesaikan dengan pendekatan keras. Pendidikan karakter siswa tidak bisa disamakan dengan penegakan disiplin di lingkungan militer. Ia menegaskan bahwa penyelesaian masalah siswa sebaiknya mempertimbangkan aspek psikologis, sosial, dan lingkungan.
“Anak-anak yang berperilaku menyimpang seharusnya ditangani melalui pendekatan psikologis yang tepat, bukan dikirim ke barak militer. Penanganan yang keliru justru bisa memperburuk keadaan,” ujar Bonnie saat diwawancara.
Bonnie juga menyoroti pentingnya peran keluarga, lingkungan sosial, dan aktivitas di sekolah dalam membentuk karakter anak. Ia percaya bahwa pendidikan karakter siswa tidak hanya dibentuk oleh kedisiplinan, tetapi juga oleh kasih sayang dan pemahaman dari orang-orang di sekeliling mereka.
Alih-alih menyerahkan siswa kepada militer, Bonnie mendorong pemerintah daerah untuk memastikan ketersediaan guru konseling di tiap sekolah. Konselor terlatih, menurutnya, bisa menjadi garda depan dalam menangani siswa bermasalah secara lebih bijak dan manusiawi.
“Kalau memang ingin menguatkan karakter, sediakan juga ruang bagi anak-anak ini menyalurkan energinya. Lapangan olahraga, ruang seni, dan kegiatan positif lainnya bisa membantu mereka menemukan jati diri,” tambah legislator dari PDIP tersebut.
Wacana ini sebelumnya dilontarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, sebagai respons atas meningkatnya kenakalan remaja di beberapa daerah. Ia menyatakan bahwa siswa yang mengalami kesulitan dalam pembinaan akan dikirim ke barak TNI untuk mengikuti pelatihan karakter selama enam bulan.
Rencananya, program ini akan mulai berjalan pada 2 Mei 2025 dan dilaksanakan secara bertahap di sejumlah daerah yang dianggap rawan. Menurut Dedi, siswa yang akan mengikuti program ini akan dipilih melalui persetujuan sekolah dan orang tua.
Namun Bonnie melihat pendekatan ini sebagai bentuk kebijakan instan yang belum menyentuh akar persoalan. Ia khawatir, pelibatan TNI bisa menambah beban kerja yang tak relevan bagi tentara yang memiliki tugas utama menjaga pertahanan negara.
“Kita tidak bisa menyeragamkan solusi atas kenakalan remaja. Latar belakang sosial anak-anak ini berbeda, jadi pendekatannya juga harus berbeda. Pendidikan karakter siswa membutuhkan empati, bukan ketegasan semata,” tegasnya.
Ia pun mengingatkan bahwa kebijakan publik harus dikaji matang agar tidak menyisakan dampak negatif jangka panjang. “Tujuannya mungkin baik, tapi caranya harus tepat. Jangan sampai niat mendidik justru berubah jadi bentuk kekerasan terselubung,” tutup Bonnie.