
Salingka Media – Jurnalis perempuan menghadapi ancaman yang lebih besar secara online dalam menjalankan tugasnya.
Tren ini tampaknya terus meningkat, kata seorang pakar pada konferensi internasional di Italia akhir pekan ini.
“Ada potensi besar kekerasan online meningkat menjadi kekerasan di dunia nyata,” kata Julie Posetti, Direktur Riset Pusat Jurnalis Internasional (ICFJ).
“Perempuan cenderung menghadapi ancaman yang lebih besar secara online,” ujarnya kepada para delegasi di Festival Jurnalisme Internasional Perugia, Sabtu (20/4).
Dan tambahnya, “jenis ancaman yang mereka hadapi (juga) meningkat.”
Dia menambahkan bahwa lingkungan yang tidak sehat “difasilitasi oleh perusahaan teknologi raksasa.” Posetti juga menuduh mereka “gagal mengambil tanggung jawab”.
Dalam studi bersama UNESCO/ICFJ pada tahun 2022, hampir tiga perempat jurnalis perempuan yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan atau pelecehan online terkait dengan pekerjaan mereka.
Mereka melakukan wawancara terhadap 900 jurnalis dari 125 negara.
Menurut konferensi tersebut, serangan online mencakup penghinaan, komentar seksis dan seksual, serta ancaman fisik, termasuk ancaman pembunuhan terhadap jurnalis dan keluarga mereka.
Serangan yang semakin canggih mencakup pemblokiran akun, peretasan, pendistribusian foto pribadi, dan pembuatan “deepfake” atau manipulasi gambar atau video untuk membuat gambar seksual palsu seseorang tanpa persetujuan mereka.
Ancaman kekerasan cenderung meningkat bila dikombinasikan dengan diskriminasi berdasarkan warna kulit, agama, atau orientasi seksual.
Posetti dan dua peneliti lainnya mengembangkan pedoman dan alat mengenai topik yang ditujukan bagi jurnalis, bekerja sama dengan Organisasi untuk Kerjasama dan Keamanan di Eropa (OSCE).
Jurnalis Filipina Maria Ressa, penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2021, pernah menjadi korban pelecehan online, jelasnya dalam laporan ICFJ-UNESCO.
“Selama dua dekade saya menjadi koresponden perang CNN, namun tidak ada yang mempersiapkan saya di lapangan untuk melakukan serangan misoginis terhadap saya dan outlet berita kami yang dipimpin oleh perempuan, Rappler,” katanya.
Misoginis merupakan ekspresi kebencian, ketidaksukaan atau diskriminasi terhadap perempuan.
Marianna Spring, spesialis disinformasi BBC, menerima banyak tweet yang menghina tahun lalu, termasuk ancaman penculikan atau kekerasan terhadap dirinya.
Sebagian besar pelecehan terjadi setelah penyelidikan pengambilalihan jaringan media sosial X, yang saat itu lebih dikenal sebagai Twitter.
Dalam beberapa kasus, ancaman online dapat berubah menjadi kekerasan fisik.
Seperlima perempuan yang disurvei mengatakan mereka pernah mengalami serangan atau penghinaan dalam kehidupan nyata terkait pelecehan online.
Konsekuensinya bisa sangat luas, beberapa jurnalis berpotensi dilarang meliput topik-topik sensitif dan beberapa bahkan memilih keluar dari industri tersebut.
Reporters Without Borders (RSF), sebuah organisasi hak media yang berbasis di Paris, memperingatkan bahwa jenis pelecehan ini merupakan ancaman baru terhadap kebebasan pers.
Jurnalis Prancis Nadia Daam mengatakan kepada AFP bahwa pada tahun 2017, dia dibanjiri pesan kebencian setelah menulis kolom yang mengkritik forum online.
Sejak itu, ia memilih pindah rumah sebanyak dua kali dan cenderung menjauhi media sosial.
Namun, dia masih menerima pesan-pesan cyberbullying dan “tidak lagi melihat hal yang sama.”
Namun, kata dia, kini sudah ada kesadaran yang lebih besar terhadap masalah tersebut.
Ia percaya bahwa industri secara umum “lebih banyak berbicara tentang pelecehan dunia maya,” dengan hukuman yang lebih berat.
Pekerja lepas Melina Huet, yang meliput perang di Ukraina dan konflik Israel-Hamas, juga sering menerima ancaman online terkait liputannya.
“Saya menerima ancaman pemenggalan kepala dan pemerkosaan di Instagram,” katanya.
“Pelaku bisa dengan mudah membuat ulang akun, tidak ada sanksi.” Beberapa media mencoba menerapkan protokol dalam upaya mengatasi cyberbullying.
Jessica Ziegerer, jurnalis investigasi harian HD Sydsvenskan juga kerap menerima pesan tak bersahabat.
“Sebelum menerbitkan artikel sensitif, kami mengadakan pertemuan dengan pakar keamanan dan meninjau semua aspek” baik online maupun offline, katanya.
Sumber : ah/ft/AFP/VOA Indonesia/fimela