Indeks

Harapan Pekerja Disabilitas di Hari Buruh: Kami Tak Butuh Kasihan, Kami Butuh Kepercayaan

https://megapolitan.kompas.com/image/2025/05/02/06091661/suara-hati-pekerja-disabilitas-pada-hari-buruh.

Salingka Media – Suara riuh ribuan massa di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Rabu (1/5/2025), menyambut Hari Buruh Internasional. Tapi di antara gemuruh tuntutan soal upah dan jam kerja, ada sepasang suara lirih namun tajam yang menusuk kesadaran. Munandar Safri (38) dan Lifiana (30), sepasang suami istri penyandang disabilitas, membawa pesan yang lebih dalam dari sekadar angka di slip gaji.

Bukan belas kasihan yang mereka cari. Bukan juga perlakuan istimewa. Tapi… kepercayaan. Itu saja.

Sudah lebih dari 10 tahun mereka mengabdikan diri di PT Omron Manufacturing Indonesia. Munandar bekerja di bagian teknik, sementara Lifiana sebagai operator produksi. Di balik keterbatasan fisik yang mereka miliki, mereka justru menunjukkan keuletan yang sering luput dari pandangan banyak perusahaan.

“Jangan ragukan kami cuma karena fisik. Keterbatasan kami itu bukan akhir dari kemampuan, malah sering kali jadi awal dari kelebihan,” kata Lifiana dengan suara mantap. Ia mengenakan seragam kerjanya saat berbincang—bangga, tapi tetap sederhana.

Omron bukan perusahaan sembarangan. Di sana, kata Munandar, karyawan disabilitas diperlakukan sama. Tak ada diskriminasi. “Kami semua dipanggil karyawan. Titik. Bukan ‘yang disabilitas’, bukan ‘yang normal’. Sama rata,” ucap Munandar singkat, tapi penuh makna.

Sayangnya, tidak semua perusahaan seberuntung itu. Banyak perusahaan lain, menurut Lifiana, masih enggan merekrut penyandang disabilitas dengan dalih klise: tidak ada fasilitas. Ia tak habis pikir.

“Kalau duduk saja kakinya nggak nyampe lantai, ya sediakan alas kaki atau pijakan. Simpel, kan? Sama seperti lansia atau ibu hamil, kita ini juga manusia biasa yang cuma butuh penyesuaian kecil,” katanya, sesekali menyelipkan tawa getir.

Cerita mereka bukan sekadar keluhan. Ada perjalanan panjang yang menyertainya. Dari Balai Latihan Kerja (BLK) di Cibinong—lembaga pelatihan milik pemerintah—mereka ditempa. Keduanya berasal dari latar yang jauh: Munandar dari Aceh, Lifiana dari Sulawesi Tengah. Tapi mereka dipertemukan dalam semangat yang sama—bertahan di tengah kerasnya dunia kerja yang belum sepenuhnya ramah bagi penyandang disabilitas.

Omron merekrut mereka dari BLK bersama lebih dari 20 rekan lain yang memiliki kondisi serupa. Sebagian besar adalah tuna daksa dan tuna rungu. Perusahaan itu, kata Lifiana, tidak menunggu disabilitas datang melamar. Mereka menjemput.

“Kalau memang niat, perusahaan bisa cari ke dinas sosial. Mereka punya data, lengkap. Jangan tunggu kami datang sendiri. Kami bukan tak mampu, cuma belum dikasih ruang,” ujarnya.

Di Hari Buruh kali ini, Munandar dan Lifiana tidak turun ke jalan membawa spanduk. Tapi suara mereka, yang terdengar tenang tapi tajam, lebih dari cukup untuk menggugah siapa pun yang mau mendengar.

“Harapan kami sederhana. Pemerintah hadir, perusahaan percaya. Itu aja,” tutup Lifiana.

Exit mobile version