
Kaba Cindua Mato adalah permata sastra lisan Minangkabau, sebuah wiracarita berbentuk kaba yang tak lekang oleh waktu. Kisah heroik ini berpusat pada tokoh utamanya, Cindua Mato, seorang ksatria yang tak gentar membela kebenaran di tengah gejolak Kerajaan Pagaruyung. Daya tarik Kaba Cindua Mato tak hanya pada alur ceritanya yang memikat, tetapi juga pada gambaran idealisasi Pagaruyung yang diimpikan masyarakat Minangkabau, menjadikannya objek studi yang tak pernah kering bagi para peneliti dan sejarawan.
Para Tokoh Kunci di Balik Epik Cindua Mato
Setiap kisah besar memiliki karakter-karakter yang menghidupinya, dan Kaba Cindua Mato memiliki jajaran tokoh yang kuat dan kompleks:
- Bundo Kanduang: Nama gelar untuk Puti Panjang Rambut II, putri Maharaja Wijayawarman (Tuanku Maharaja Sakti I, Dewang Pandan Putrawana) dan sepupu Ananggawarman. Beliau adalah pemimpin bijaksana Kerajaan Pagaruyung.
- Dang Tuanku ‘Sutan Rumanduang’: Putra Bundo Kanduang dan Bujang Salamat (Hyang Indera Jati dari dinasti Makhudum, Sumanik). Raja Pagaruyung ini telah ditunangkan dengan sepupunya, Puti Bungsu, putri Rajo Mudo. Ia juga dikenal sebagai Rajo Megat atau Sutan Saktai, bergelar Rajo Jonggor, dan berkuasa di Renah Sekalawi (Lebong), sekitar 40 km dari Lunang, sebagai Raja Jang Tiang Pat Petuloi ke-I.
- Cindua Mato: Lahir dari Kembang Bendahari, sepupu Bundo Kanduang, membuat Cindua Mato memiliki ikatan persaudaraan dengan Dang Tuanku. Ia tumbuh menjadi ksatria yang setia dan hulubalang Kerajaan Pagaruyung.
- Imbang Jayo: Raja Sungai Ngiang, wilayah rantau Minangkabau di selatan (sekitar Sangir dan Kerinci). Ia berambisi merebut Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku, dengan menyebarkan desas-desus palsu tentang penyakit Dang Tuanku.
- Tiang Bungkuak: Ayah Imbang Jayo, seorang pendekar sakti mandraguna yang konon kebal terhadap senjata apapun. Namun, di tangan Cindua Mato, kelemahannya akhirnya terungkap.
Petualangan dan Konflik yang Mengguncang Pagaruyung
Kisah Kaba Cindua Mato dimulai dengan persahabatan erat antara Dang Tuanku dan Cindua Mato. Keduanya tumbuh bersama; Dang Tuanku sebagai pewaris takhta Pagaruyung, sementara Cindua Mato mengasah kemampuannya hingga menjadi hulubalang terkemuka. Kedekatan mereka terjalin kuat, layaknya saudara seperguruan.
Suatu hari, saat menghadiri perhelatan Datuk Bandaro, sebuah kabar mengejutkan sampai ke telinga Cindua Mato: Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku, akan dipersunting oleh Imbang Jayo. Kabar burung ini tak hanya didengar oleh Cindua Mato, Dang Tuanku pun mendengarnya dan langsung pulang dengan amarah membara. Kecurigaan mereka terbukti benar saat Bundo Kanduang menerima undangan pernikahan Imbang Jayo dan Puti Bungsu.
Dalam situasi dilematis ini, Bundo Kanduang memerintahkan Cindua Mato untuk mengantarkan seserahan dan hadiah pernikahan. Sebuah tugas yang berat bagi Cindua Mato, mengingat betapa pedihnya hati Dang Tuanku, sahabatnya, harus melihat tunangannya dipersunting orang lain. Dengan berat hati, Cindua Mato mematuhi perintah kerajaan.
Setibanya di pesta pernikahan, Cindua Mato menggunakan kesaktiannya. Ia memanipulasi cuaca, menyebabkan badai besar dan hujan lebat yang membanjiri perhelatan. Momen kekacauan ini dimanfaatkan Cindua Mato untuk menculik Puti Bungsu dan membawanya lari kembali ke Pagaruyung.
Tindakan berani Cindua Mato ini sontak memicu peperangan. Imbang Jayo dan pasukannya segera mengepung Pagaruyung. Namun, Dang Tuanku, yang sejak awal telah merencanakan penculikan ini, sudah siap menyambut serangan tersebut. Peperangan dahsyat pun pecah antara kedua kerajaan.
Singkat cerita, Imbang Jayo tewas dalam pertempuran. Untuk menghentikan pertumpahan darah lebih lanjut, disepakati bahwa konflik akan diselesaikan melalui duel antara pendekar masing-masing pihak. Dari pihak Pagaruyung, Cindua Mato maju menghadapi Tiang Bungkuak.
Nasib buruk menimpa Cindua Mato dalam duel ini; ia kalah. Sebagai konsekuensi kekalahannya, ia diseret menjadi budak Tiang Bungkuak. Tak hanya itu, Pagaruyung pun luluh lantak dibakar habis, memaksa Dang Tuanku dan Bundo Kanduang menyelamatkan diri dari kerajaan yang kini rata dengan tanah.
Namun, menjadi budak hanyalah bagian dari siasat Cindua Mato. Ia bertekad mencari tahu kelemahan Tiang Bungkuak. Dengan bantuan air sirih penanya, Cindua Mato akhirnya menemukan kelemahan sang tuan: satu-satunya senjata yang bisa melukai Tiang Bungkuak adalah keris milik Tiang Bungkuak sendiri.
Ketika Tiang Bungkuak tertidur lelap, Cindua Mato mencuri keris tersebut dan menghabisi nyawa tuannya dalam sebuah duel maut. Kematian Tiang Bungkuak membebaskan Cindua Mato dari belenggu perbudakan, memungkinkannya kembali ke Pagaruyung untuk memulihkan kejayaan kerajaan.
Antara Fakta dan Legenda: Jejak Sejarah dalam Kaba Cindua Mato
Para sejarawan melihat Kaba Cindua Mato bukan sekadar cerita fiksi, melainkan sebuah narasi yang mengambil latar dan inspirasi dari kondisi nyata Kerajaan Pagaruyung pada periode tertentu, khususnya di awal abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Masa ini diduga sebagai periode kevakuman dan gejolak perebutan takhta sepeninggal Ananggawarman. Perubahan keyakinan rakyat Minangkabau dari animisme Hindu-Buddha menjadi Islam juga disinyalir mengurangi dukungan terhadap kekuasaan Pagaruyung yang otoriter dan aristokratis, turut berkontribusi pada huru-hara.
Diyakini, serangan dari kerajaan-kerajaan di timur memaksa Pagaruyung terdesak, dan sebagian besar kalangan istana menyelamatkan diri ke tenggara Pagaruyung. Menariknya, keturunan Puti Bungsu dan Dang Tuanku dipercaya tersebar di marga Tubey, Bermani, dan Jurukalang di Kabupaten Lebong, Bengkulu. Sementara itu, masyarakat Lunang (bekas wilayah Kesultanan Inderapura) meyakini bahwa keturunan Bundo Kanduang dan Cindua Mato masih ada hingga kini, dibuktikan dengan keberadaan makam mereka di sana. Hal ini menunjukkan bahwa Kaba Cindua Mato tak hanya hidup dalam ingatan, tetapi juga dalam jejak-jejak keturunan yang tersebar di Nusantara.