
Kasus kekerasan seksual anak yang mencuat di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, menjadi sorotan publik dan mendorong keterlibatan langsung dari Bareskrim Polri. Keterlibatan ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga menyangkut kemanusiaan dan pemulihan korban yang kini berjumlah 31 anak.
Direktorat Tindak Pidana Pelindungan Perempuan dan Anak (PPA) bersama unit Pemberantasan Perdagangan Orang (PPO) dari Bareskrim Polri memberikan dukungan penuh terhadap proses penyelidikan yang sedang berjalan. Bantuan teknis juga datang dari sejumlah unit seperti Puslabfor, Pusident, dan Pusdokkes Polri untuk mempercepat pengungkapan kasus.
“Kami memberikan back-up penuh, termasuk bantuan teknis dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait agar korban bisa segera dipulihkan secara menyeluruh,” ujar Brigjen Pol Nurul Azizah, Direktur PPA-PPO Bareskrim, dalam keterangan resminya pada Jumat (2/5/2025).
Tidak hanya fokus pada proses hukum, langkah komprehensif juga dilakukan dengan menggandeng Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), UPTD PPA, rumah sakit, dan sejumlah organisasi masyarakat. Pendampingan psikologis, medis, dan layanan hukum disediakan untuk memastikan setiap korban mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang layak.
Brigjen Nurul mengingatkan masyarakat untuk membangun empati terhadap para penyintas. Ia juga menegaskan pentingnya menghindari tindakan reviktimisasi yang bisa memperburuk kondisi psikologis korban. “Tugas kita bukan hanya menindak pelaku, tetapi juga menguatkan korban dengan empati dan akses pemulihan yang layak,” tegasnya.
Masyarakat yang mengetahui atau mencurigai adanya kasus kekerasan seksual anak didorong untuk segera melapor melalui kanal resmi. Beberapa saluran yang dapat digunakan antara lain: nomor darurat Polri 110, layanan Kementerian PPPA di 129, dan Kementerian Sosial di 1500771.
Sementara itu, penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Jawa Tengah terus berlanjut. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jateng, Kombes Pol Dwi Subagio, mengungkapkan bahwa pelaku berinisial S (21) memanfaatkan ruang digital seperti Telegram dan media sosial untuk memanipulasi para korban. Sebagian besar korban merupakan anak-anak usia sekolah yang rentan secara emosional dan psikologis.
“Jumlah korban bertambah. Kini sudah teridentifikasi 31 anak. Kami masih terus mendalami motif pelaku dan membuka ruang seluas-luasnya bagi korban lainnya yang belum melapor,” kata Kombes Dwi.