Indeks

Jejak Anggun Nan Tongga, Pahlawan Legendaris Minangkabau

Jejak Anggun Nan Tongga, Pahlawan Legendaris Minangkabau
Jejak Anggun Nan Tongga, Pahlawan Legendaris Minangkabau – Sumber Gambar Kristal Multimedia Official

Kisah Anggun Nan Tongga, sebuah narasi epik yang dikenal luas di tengah masyarakat Minangkabau, tak pernah lekang oleh waktu. Cerita ini, yang kerap disebut “kaba”, juga merambah wilayah berbahasa Melayu di mana ia dikenal sebagai “Hikayat Anggun Cik Tunggal”. Lebih dari sekadar dongeng, Anggun Nan Tongga merekam jejak petualangan berani seorang pemuda yang berlayar jauh demi menemukan keluarganya, sekaligus menelusuri rumitnya jalinan cinta dengan kekasihnya, Gondan Gondoriah.

Pada mulanya, kaba ini tersebar dari mulut ke mulut, diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Namun, seiring waktu, beberapa versi tertulis muncul, salah satu yang paling terkenal digubah oleh Ambas Mahkota dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1960 di Bukittinggi, memastikan warisan Anggun Nan Tongga tetap hidup dalam lembaran sejarah sastra.

Asal Mula Pahlawan dari Kampung Dalam Pariaman

Jauh di lorong-lorong pendalaman Kampung Dalam, Pariaman, hiduplah Anggun Nan Tongga, seorang pemuda bergelar Magek Jabang. Ia dibesarkan oleh bibinya, Suto Suri, setelah sang bunda, Ganto Sani, wafat tak lama setelah kelahirannya, dan sang ayah pergi bertarak ke Gunung Ledang. Sejak belia, takdir telah menjodohkan Anggun Nan Tongga dengan Putri Gondan Gondoriah, putri pamannya sendiri.

Anggun Nan Tongga tumbuh menjadi sosok yang memukau: tampan, cerdas, dan piawai dalam berbagai bidang. Ia mahir berkuda, menguasai ilmu silat, serta mendalami ilmu agama dan pandai mengaji Al-Quran. Kecakapan dan kebijaksanaannya mengisyaratkan masa depan yang penuh dengan tantangan dan pengembaraan.

Perjalanan Penuh Tantangan dan Pengorbanan

Suatu hari, kabar sayup-sayup terdengar dari Sungai Garinggiang: Nangkodoh Baha tengah menggelar sayembara untuk mencari pendamping bagi adiknya, Intan Korong. Tergerak oleh semangat juang, Anggun Nan Tongga meminta izin kepada Mandeh Suto Suri untuk turut serta. Meskipun awalnya enggan karena pertunangan Nan Tongga dengan Gondan Gondoriah, Mandeh Suto Suri akhirnya luluh.

Di arena pertandingan, kehebatan Anggun Nan Tongga tak tertandingi. Ia berhasil mengalahkan Nangkodoh Baha dalam setiap cabang: sabung ayam, menembak, hingga catur. Namun, kekalahan ini memicu amarah dan rasa malu Nangkodoh Baha. Ia kemudian melontarkan ejekan pedas, menuduh Nan Tongga membiarkan ketiga pamannya ditawan bajak laut di pulau Binuang Sati. Berita ini sontak membuat hati Nan Tongga hancur.

Dengan hati yang pedih namun tekad membaja, Nan Tongga memutuskan untuk merantau. Tujuannya satu: mencari ketiga pamannya, Mangkudun Sati, Nangkodoh Rajo, dan Katik Intan. Sebelum berlayar, ia meminta restu dari Mandeh Suto Suri dan tunangannya, Puti Gondan Gondoriah. Gondoriah, dengan permintaan yang tak biasa, meminta Nan Tongga membawakan 120 benda dan hewan langka yang ajaib. Di antaranya adalah seekor burung nuri yang pandai berbicara, beruk yang mahir bermain kecapi, dan kain cindai yang tak basah oleh air.

Anggun Nan Tongga pun berangkat dengan kapal Dandang Panjang, ditemani pembantu setianya, Bujang Salamat, dan dinakhodai Malin Cik Ameh. Setelah berlayar beberapa lama, mereka tiba di Pulau Binuang Sati. Utusan Panglima Bajau, penguasa pulau itu, berusaha mengusir Nan Tongga, namun ditolak mentah-mentah. Pertempuran sengit pun tak terhindarkan, dan dalam baku hantam itu, Bujang Salamat berhasil menewaskan Panglima Bajau, menaklukkan Pulau Binuang Sati.

Di sana, Nan Tongga menemukan salah seorang pamannya, Nangkodoh Rajo, terkurung dalam kandang babi. Nangkodoh Rajo menceritakan bahwa kedua pamannya yang lain, Katik Intan dan Makhudum Sati, berhasil meloloskan diri saat pertempuran di laut dengan anak buah Panglima Bajau. Ia juga memberitahukan bahwa burung nuri yang pandai berbicara berada di Kuala Kota Tanau.

Nan Tongga kemudian memerintahkan Malin Cik Ameh kembali ke Pariaman dengan kapal rampasan dari Binuang Sati, membawa kabar pembebasan Nangkodoh Rajo. Sementara itu, Nan Tongga dan Bujang Salamat melanjutkan pelayaran dengan Dandang Panjang menuju Kota Tanau. Namun, setibanya di Pariaman, Malin Cik Ameh terpesona oleh kecantikan Gondan Gondoriah. Ia berbohong, mengatakan bahwa Nan Tongga ditawan Panglima Bajau dan berpesan agar Malin Cik Ameh dijadikan pemimpin di kampung. Malin Cik Ameh pun diangkat menjadi raja dan mengirim utusan untuk meminang Gondan Gondoriah, namun lamarannya ditolak dengan alasan Gondoriah masih berduka atas “penawanan” Nan Tongga.

Pengorbanan dan Ujian Cinta

Di Kota Tanau, Anggun Nan Tongga menemukan pamannya yang lain telah menjadi raja di sana. Putri pamannya, Putri Andami Sutan, memiliki seekor burung nuri yang pandai berbicara. Nan Tongga mencoba meminta burung tersebut, namun Andami Sutan secara halus mengisyaratkan bahwa burung nuri ajaib itu hanya bisa didapatkan jika Nan Tongga menikahinya. Tak punya pilihan lain, Nan Tongga pun menikahi putri tersebut.

Ironisnya, burung nuri ajaib itu kemudian lepas dari sangkarnya dan terbang ke Tiku Pariaman. Di sana, ia menemui Puti Gondan Gondoriah yang dilanda kesedihan mendengar kabar tunangannya menikah dengan Andami Sutan.

Rasa rindu Nan Tongga pada kampung halaman dan tunangannya tak terbendung. Ia memutuskan meninggalkan istrinya, Andami Sutan, yang sedang mengandung. Ketika Gondan Gondoriah mendengar Anggun Nan Tongga telah pulang, ia melarikan diri ke Gunung Ledang. Namun, Nan Tongga mengejarnya dan berhasil membujuknya untuk kembali. Hati Gondoriah akhirnya luluh, dan ia kembali bersama Nan Tongga.

Saat hendak melangsungkan pernikahan, Nan Tongga dan Gondan Gondoriah bersama Bujang Selamat pergi menemui Tuanku Haji Mudo untuk meminta restu. Namun, sebuah fakta mengejutkan terungkap: Tuanku Haji Mudo menyatakan bahwa Nan Tongga dan Gondan Gondoriah adalah saudara sepersusuan, karena Nan Tongga pernah menyusu pada ibu Gondan Gondoriah. Menurut hukum Islam, ini berarti mereka tidak dapat menikah di dunia ini dan hanya bisa berjodoh di akhirat.

Karena tak kunjung pulang, orang tua Nan Tongga dan Gondan Gondoriah mengirimkan orang untuk mencari mereka. Namun, mereka hanya menemukan Bujang Selamat yang menceritakan bahwa Anggun Nan Tongga, Gondan Gondoriah, dan Tuanku Haji Mudo telah naik ke langit. Demikianlah berakhir kisah Anggun Nan Tongga, sebuah epik yang menggambarkan perjuangan, pengorbanan, dan takdir yang tak terduga dalam budaya Minangkabau.

Exit mobile version